Nino terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Matanya jadi terasa sakit karena berusaha keras untuk tidur. Maka ia membiarkan matanya tetap terpejam sekalipun ia tak bisa tidur. Tepat di sebelahnya, ia dapat mendengar dengkuran sang nenek yang tertidur pulas setelah seharian mengais rezeki di sawah. Ia berusaha mendengar tarikan nafas wanita tua itu di sela-sela teriakan jangkrik yang sudah bertahun-tahun menemani mereka tidur. Ia bergeser sedikit agar dapat menyentuh lengan sang nenek. Ia genggam jemari tangan sang nenek yang keriput dan kendur lantas bergumam di dalam hati.
"Nenek, Nino sayang sama nenek. Maaf Nino gak bisa bantu nenek di sawah. Nenek bilang Nino harus tetep sekolah. Nino janji akan rajin nek. Kalau Nino besar nanti, Nino akan bawa nenek ke rumah yang lebih bagus kaya punya juragan" Nino memeluk dan mencium pipi nenek. Dan tak lama kemudian ia pun kembali tertidur.
Seperti biasa Nino bangun subuh dan segera membantu nenek di dapur setelah selesai salat. Biasanya Nino menyiapkan bekal untuknya di sekolah dan terkadang membungkus bekal untuk nenek sekalian. Begitu nasi dan lauk yang dimasak nenek telah dingin, iapun segera membungkusnya dengan daun pisang yang dibawa oleh nenek setiap pulang dari sawah.
"Le, taruk di sini aja bontotnya. Nenek beli ini semalam biar kamu gak repot. Pake ini kamu gak perlu takut lauk kamu tumpah berantakan" ucap nenek sambil menunjukkan toples persegi untuk bekal.
"Wah,,nek makasih ya nek. Nino udah lama pengen punya kotak bekal kayak gini nek. Sekarang temen Nino gak akan eje Nino lagi deh. Makasih ya nek." Nino memeluk nenek dengan gembira.
"Iya le, yang penting kamu harus rajin ya. Kalau nenek punya uang pasti nenek beliin yang lebih bagus." nenek mencium kening Nino sambil menangis. Agar Nino tak melihat, nenekpun segera mengusap matanya.
"Iya nek, Nino janji rajin belajar biar dapat rangking. Ehm,,kalau dapat rangking dan naik kelas ke 5A, Nino gak minta kotak bekal lagi kok nek. Nino,,,,ehmm beliin tas baru ya nek. Tas Nino udah dari kelas satu belum pernah ganti. Udah dijahit di sana-sini nek." Nino menatap lirih tasnya yang tergantung di samping pintu dapur.
Nenek tersenyum pedih. "Iya sayang. Nenek udah nabung kok buat beliin kamu baju dan tas baru. Tapi kalau kamu ga dapat rangking, pake baju dan tas lama dulu dong" goda nenek.
"Hahaha bener ya nek" Nino mencium pipi nenek dan berpamitan untuk pergi sekolah.
Sepulang sekolah Nino mendapati nenek terbaring di kamar. Wajahnya pucat dan tak berhenti terbatuk. Ia segera melempar tasnya dan menghampiri nenek yang terlihat sangat lemah.
"Nenek,,,,,nenek kenapa? nenek sakit? Nino ambil air dulu ya nek." Nino segera berlari ke dapur dan kembali dengan segelas air hangat. "Ini nek minum dulu biar kurang batuknya".
Dengan sedikit kesusahan, Nino membantu nenek duduk untuk minum. Badan nenek sangat panas dan membuat Nino ketakutan.
"Nenek,,,badan nenek panas sekali. Nino panggilin buk Nila ya nek. Nenek harus diobati" ucapnya sambil menangis. Nino memang kerapkali menangis saat neneknya sakit karena hanya neneklah satu-satunya yang ia miliki. Tentu saja di usianya yang masih sangat muda Nino sangat takut kehilangan wanita yang telah merawat dan menafkahinya sejak bayi.
"Gak usah Le, nenek cuma pusing. Kecapean. Gak usah."
"Tapi nenek sakit nek. Dulu kakek juga panas kayak nenek. Nino takut nek. Nino panggil buk Nila ya nek." Tangis Nino makin menjadi.
"Nino,,, nenek ga punya duit untuk berobat. Kalau panggil dokter mau dibayar pakai apa? Nino beli obat sakit kepala aja ya di warung. Di atas lemari ada duit. Kamu ambil ya."
"Iya nek. Nino beli obat sekarang" Ninopun bergegas untuk membeli obat.
Nino menyiapkan makanan untuk nenek dan segera meminumkan obat sakit kepala yang ia beli. Setelah minum obat, nenek mulai membaik dan bisa tidur dengan pulas. Namun di tengah malam, sakit nenek kambuh dan badannya semakin panas. Nenek juga tak berhenti-henti batuk.
Karena ketakutan, tanpa persetujuan nenek Nino segera berlari ke rumah ibu Nila, seorang dokter di kampung itu. Perjalanan menuju ke rumah sang dokter membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Nino harus melewati sungai dan sawah yang gelap hanya ditemani senter kecil yang sudah mulai meredup.
Tanpa fikir panjang Nino terus berlari dan berusaha agar sampai di rumah dokter dengan segera. Ia tak lagi merasa takut melewati tempat yang gelap dan sunyi. Sembari menangis terisak Nino membangunkan sang dokter. Dengan tenang dokter itu menanyakan maksud kedatangan Nino. Ninopun segera menceritakan keadaan neneknya. Dengan cepat sang dokter menyiapkan peralatannya dan berusaha menenangkan Nino.
Karena ketakutan, tanpa persetujuan nenek Nino segera berlari ke rumah ibu Nila, seorang dokter di kampung itu. Perjalanan menuju ke rumah sang dokter membutuhkan waktu sekitar 20 menit. Nino harus melewati sungai dan sawah yang gelap hanya ditemani senter kecil yang sudah mulai meredup.
Tanpa fikir panjang Nino terus berlari dan berusaha agar sampai di rumah dokter dengan segera. Ia tak lagi merasa takut melewati tempat yang gelap dan sunyi. Sembari menangis terisak Nino membangunkan sang dokter. Dengan tenang dokter itu menanyakan maksud kedatangan Nino. Ninopun segera menceritakan keadaan neneknya. Dengan cepat sang dokter menyiapkan peralatannya dan berusaha menenangkan Nino.
Mereka sampai di rumah Nino dengan cepat karena mereka diantar oleh suami sang dokter menggunakan sepeda motor. Nenek segera diperiksa dan diberi obat. Karena terlalu lemah, nenek tertidur setelah disuntik oleh dokter. Melihat ekspresi Nino yang ketakutan saat sang nenek terpicing, dokter segera menjelaskan bahwa nenek baik-baik saja.
Dokter itu kemudian menjelaskan obat yang harus diminum nenek dan meminta Nino untuk memantaunya.
Dokter itu kemudian menjelaskan obat yang harus diminum nenek dan meminta Nino untuk memantaunya.
"Terimakasih Buk Nila. Nenek tidak punya uang untuk membayar perobatan. Apa Nino boleh bekerja di rumah Ibuk sepulang sekolah?. Nenek menolak untuk berobat, tapi Nino takut nenek semakin parah. Nino janji akan bekerja yang rajin buk" Nino berusaha meyakinkan sang dokter.
Karena mengerti keadaan nenek Nino, sang dokterpun mengatakan bahwa mereka bisa membayarnya kapan-kapan jika nenek memiliki uang dan Nino tak perlu bekerja di rumahnya. Namun Nino bersikeras dengan permohonannya.
"Terimakasih Buk. Tapi Nino fikir nenek tidak boleh bekerja lagi. Nenek sudah tua. Nino kasihan sama nenek kalau nenek harus bekerja di sawah lagi. Jadi Nino harus bantu nenek cari duit. Tolong Nino Buk, kalau di sawah, juragan gak akan terima Nino karena Nino masih anak-anak." ucap Nino memelas.
Karena Nino bersikeras, akhirnya sang dokterpun mengizinkan ia bekerja di rumah sang dokter untuk membayar biaya pengobatan.
Keesokan harinya, sepulang sekolah dan setelah memberi nenek obat, Nino segera pergi ke rumah dokter Nila untuk bekerja. Tentu saja ia merahasiakan hal itu dari sang nenek. Saat ditanya mengenai biaya pengobatan, Nino meyakinkan sang nenek bahwa dokter Nila memberikan kemudahan sampai nenek sembuh dan memiliki uang.
Seperti janjinya, Nino bekerja dengan rajin. Memangkas rumput di halaman, menggiring bebek ke kandang, dan menyiram bunga. Sebelum magrib, dokter Nila menyuruhnya pulang dan memberinya semangkuk sayur untuk di rumah. Nino sangat senang atas kebaikan keluarga dokter Nila.
Seperti janjinya, Nino bekerja dengan rajin. Memangkas rumput di halaman, menggiring bebek ke kandang, dan menyiram bunga. Sebelum magrib, dokter Nila menyuruhnya pulang dan memberinya semangkuk sayur untuk di rumah. Nino sangat senang atas kebaikan keluarga dokter Nila.
Seminggu telah berlalu dan nenek sudah mulai membaik namun masih harus beristirahat. Sore itu, Nino yang tengah asik menggiring bebek, dipanggil oleh dokter Nila.
"Terimakasih ya Nino sudah membantu Ibuk di rumah."
"Nino yang harus berterimakasih Buk. Berkat Ibuk, nenek sudah membaik. Sekarang nenek bisa tidur pulas tanpa terbangun di malam hari. Batuk nenek juga udah baikan. Ini belum cukup membayar jasa Ibuk" jawab Nino senang.
"Hmm,,,, mbok Pon beruntung punya cucu seperti kamu Nino. Begini Nino, tadi Ibuk ke rumah kamu. Ibuk tadi ngobrol sama nenek. Kemungkinan nenek sakit karena kefikiran sama kain sarung peninggalan kakekmu yang dijual nenek beberapa hari yang lalu untuk keperluan sehari-hari karena juragan menggantung gaji pekerja"
Wajah Nino menjadi murung dalam seketika. "Sarung coklat itu? Nenek bilang itu sarung kesukaannya Buk. Nenek bilang itu satu-satunya benda peninggalan kakek. Pantas saja aku tidak lagi melihat nenek salat dengan sarung itu. Ibuk gak bilang Nino bekerja di sini kan Buk?" jawab Nino sedih.
"Gak Nino. Kamu jangan sedih. Mungkin kamu masih bisa menebus sarung itu lagi. Nenek menjualnya ke pak Nasrun. Ibuk akan bantu bicara ke Pak Nasrun."
"Tapi bagaimana Nino membayar sarung itu buk? Nino masih harus membayar pengobatan nenek ke Ibuk."
"Ini. Ambil uang ini. Kamu udah banyak membantu di sini. Jadi kamu berhak dapat gaji." jawab dokter Nila sambil menyalamkan duit pada Nino.
Nino menatap duit itu dan lantas berkata bahwa duit itu harus ia bayarkan ke dokter Nila. Ia merasa bahwa kerjanya masih belum cukup untuk membayar pengobatan nenek, maka ia tidak mau menerima duit itu. Dokter Nilapun mengatakan bahwa gaji itu sudah ia potong biaya pengobatan agar Nino mau menerimanya, namun Nino tetap menolak dan berterimakasih kepada Dokter Nilla.
Selesai menggiring bebek ke kandang, Nino pamit untuk pulang ke rumah. Seperti biasa ia segera mengambil makanan untuk nenek dan meminumkan obat.
"Kamu darimana Le?" tanya nenek yang heran karena Nino selalu pulang sore.
"Dari rumah Tio nek. Belajar bareng. Kan kita lagi ujian nek."
"Kamu beli sayur ini dimana Le?"
"Hmmm,,,itu dokter Nila yang memberi nek. Katanya untuk nenek."
Nenek menghela nafas. "Alhamdulillah Le, masih ada yang mau membantu kita. Rezeki kamu Le." Nenek mencium kening Nino. "Oya, kapan bagi rapor Le?"
"Besok nek."
"Kenapa kamu gak semangat gitu Le? Ujiannya lancar kan? Kalau rangking besok kita ke pasar beli baju dan tas baru. Nenek jadi gak sabar Le. Makasih ya Le, udah rawat nenek. Nenek merasa udah baikan."
"Iya Nek." Nino memeluk nenek sambil menangis.
Ia masih teringat dengan sarung coklat peninggalan kakek. Ia berfikir bahwa nenek akan terus-terusan merindukan sarung itu dan mungkin akan sakit lagi karena terlalu memikirkan sarung itu. Begitu nenek melepaskan pelukannya, Ninopun segera menghapus airmatanya.
Ia masih teringat dengan sarung coklat peninggalan kakek. Ia berfikir bahwa nenek akan terus-terusan merindukan sarung itu dan mungkin akan sakit lagi karena terlalu memikirkan sarung itu. Begitu nenek melepaskan pelukannya, Ninopun segera menghapus airmatanya.
Nino keluar dari kelas dengan gembira. Ia mendapat rangking pertama di kelasnya. Ia sudah tidak sabar mengajak nenek ke pasar untuk membeli baju dan tas baru. Nino berlari riang menuju rumahnya untuk menunjukkan rapornya kepada nenek.
Saat melewati rumah Pak Nasrun, langkah kaki Nino terhenti lantaran ia melihat sarung coklat yang dijual nenek ke pak Nasrun sedang dijemur di pelataran. Ia mencoba menatap ke rumah pak Nasrun dan memutuskan untuk menemui Pak Nasrun.
Iapun menceritakan kepada Pak Nasrun mengenai sarung itu. Ia mengatakan bahwa sarung itu sangat berarti untuk nenek dan ia memohon agar Pak Nasrun mau menjualnya kembali. Karena kasihan pada Nino, Pak Nasrunpun bersedia menjual sarung itu.
Saat melewati rumah Pak Nasrun, langkah kaki Nino terhenti lantaran ia melihat sarung coklat yang dijual nenek ke pak Nasrun sedang dijemur di pelataran. Ia mencoba menatap ke rumah pak Nasrun dan memutuskan untuk menemui Pak Nasrun.
Iapun menceritakan kepada Pak Nasrun mengenai sarung itu. Ia mengatakan bahwa sarung itu sangat berarti untuk nenek dan ia memohon agar Pak Nasrun mau menjualnya kembali. Karena kasihan pada Nino, Pak Nasrunpun bersedia menjual sarung itu.
Nino segera berlari menuju rumah dan menunjukkan rapornya pada nenek.
"Nino rangking satu nek! Sekarang jadi kan kita beli tas baru?" ucap Nino antusias.
"Jadi dong Le,, kan nenek sudah janji sama kamu. Yaudah nenek siap-siap dulu ya. Kamu makan dulu sana. Habis makan kita ke pasar." nenek mencium pipi Nino karena bangga dengan prestasinya.
"Gausah nek."
"Loh gak usah kenapa Le?" nenek bingung.
"Nenek kan masih lemes. Biar Nino aja ya yang ke pasar. Ntar nenek kecapean. Baru juga sembuh."
"Memang kamu berani beli ke pasar sendiri?. Kamu pinter nawar apa Le? Nanti kamu ditipu loh Le"
"Berani nek. Ntar Nino tawar kok nek. Kan udah belajar dari nenek." jawab Nino tersenyum.
Setelah berfikir, akhirnya nenek setuju. Iapun memberikan uang kepada Nino untuk membeli baju dan tas baru.
"Hati-hati ya Le. Pilih yang agak besar bajunya. Jangan mau dikasih terlalu mahal."
"Iya nek. Pokoknya entar pasti duitnya gak habis deh nek" jawabnya senang. "Kalau gitu, Nino berangkat ya nek, assalamualaikum"
"Waalaikumsalam."
Sekitar 20 menit kemudian, Nino sudah kembali ke rumah. Hal itu membuat nenek terkejut dan bingung.
"Loh, belum berangkat le? atau udah pulang? kok cepat sekali?"
"Udah selesai kok nek."
"Loh mana tas sama bajunya? " tanya nenek heran.
"Hehe nenek penasaran kan? nenek tutup mata dulu dong"
"Oala le,, kok pakek tutp mata segala toh? Ya wes nenek merem ni"
"satuuu,,,,duaaa,,,tii,,,,gaaa. Buka matanya nek"
Nenek membuka mata.
"Tarrrrraa....... ini nek. Nino gak ke pasar. Nino beli lagi sarung ini dari pak Nasrun."
Nenek terdiam. Ia menatap kain sarung berwarna coklat yang sudah beberapa hari ini menjadi fikirannya sampai-sampai membuatnya sakit. Kemudian ia tak kuasa menahan tangis saat mencium kain sarung itu dan memeluk Nino erat-erat. Ia mencium Nino sambil terus menangis. Tangisannyapun membuat Nino ikut terisak.
0 comments :
Post a Comment