Rere sangat bahagia saat Dio, sang kekasih memutuskan untuk melamarnya selepas ujian nasional tingkat SMA. Dengan malu-malu, Rerepun mengutarakan hal itu kepada orang tuanya. Sayangnya tak satupun dari kedua orangtua Rere menyetujui rencana lamaran tersebut. Kakak Rere satu-satunyapun ikut menolak.
"Apa kau sudah gila Re? menikah bukan perkara yang mudah. Kau harus memikirkan itu matang-matang." ucap Lia.
"Kak, aku udah besar dan Dio juga udah siap. Dia punya pekerjaan. Dia mandiri. Kakak tahu kan gimana karakter Dio. Dia pekerja keras kak. Jadi apalagi yang perlu difikirkan?" bela Rere.
Rere dan Liapun terus berdebat sepanjang malam di kamar Lia.
"Oke kakak tahu Dio itu mandiri, dewasa, dan bertanggungjawab. Kakak yakin dia bisa jadi imam buat kamu. Tapi Rere, kalian masih sangat mudah. Mental kalian masih belum stabil. Kamu ngurus diri sendiri aja belum bisa, gimana mau ngusurs suami? belum lagi kalau kalian punya anak. Memangnya kamu siap menggendong dan mengurus anak sementara teman-temanmu menikmati masa muda mereka dengan kuliah dan bersenang-senang? Rere, menikah itu tidak sesederhana yang kamu fikirkan." Lia berusaha memberi pengertian pada Rere.
"Kak, kakak gak setuju bukan karena alasan itu kan? Bilang aja kakak malu kalau Rere melangkahi kakak? Iya kan?" Ledek Rere.
"Apa?" Lia tercengang.
"Kak, banyak kok orang yang nikah muda. Artis-artis juga udah banyak yang nikah muda. Mereka baik-baik aja kok. Justru itulah saat yang tepat untuk mendewasakan diri kak. Rere udah puas kok bersenang-senang dengan masa muda Rere. Udah cukup kak."
"Re,,,"
"Kak, pokoknya kakak bantu Rere ya, please ! Rere sayang Dio kak. Rere gak mau Dio ketemu cewek lain di perkuliahan dan meninggalkan Rere. Kakak sayang kan sama Rere. Plis bantu Rere meyakinkan Bapak sama Ibuk kak." Rere mulai memelas.
Karena Rere adik satu-satunya dan Lia sangat menyayanginya, Liapun setuju untuk membantu Rere meyakinkan orangtua mereka. Dengan sedikit bersusah payah dan berdebat, akhirnya orangtua Rere menyetujui rencana lamaran tersebut dengan syarat Rere harus siap dengan kosekuensi yang akan dia hadapi setelah menikah.
Orangtua Rere juga meminta agar Rere tidak pernah berniat bercerai jika mereka memiliki masalah.
"Menikah hanya sekali. Jangan pernah berfikir untuk bercerai. Kalau kau melakukannya, Bapak gak akan mau membantumu. Bapak tidak suka perceraian. mengerti?"
"Mengerti Pak, Buk, makasih ya udah mau merestui Rere buat nikah." Rere tersenyum sumringah.
Setelah lulus SMA, Dio dan keluarganya datang melamar Rere. Setelah membahas mengenai hari dan tanggal yang baik untuk menikah, Rere dan Diopun akhirnya menikah di bulan september, 2 minggu setelah lamaran. Seusai resepsi pernikahan, Rerepun dibawa oleh sang suami untuk tinggal di rumah orangtuanya untuk sementara sampai mereka memiliki rumah sendiri.
Awalnya Rere merasa sangat senang karena keluarga Dio sangat ramah dan menyayangi ia seperti layaknya keluarga sendiri. Selang 2 minggu semenjak ia tinggal di rumah mertua, kehidupanpun terasa mulai berubah. Terlebih saat Rani, kakak kandung Dio yang kuliah di Jakarta lulus dan balik ke rumah.
Rani yang pembersih dan rajin tidak begitu suka melihat Rere yang sama sekali tidak tahu bekerja. Menyiapkan sarapan untuk Diopun ia tak bisa. Tak seperti Ibu Dio yang sabar mengajari Rere, Rani terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Rere. Saat Dio bekerja, tanpa sepengetahuan orang lain Rani menemui Rere dan mengatakan padanya bahwa ia samasekali tidak pantas menjadi seorang istri.
Tak segan-segan Rani juga mengatakan ia menyesal menyetujui Dio menikahi Rere. Tak hanya itu, Rani juga berharap Dio bisa membuka mata agar tidak terus-menerus menutupi kebodohan istrinya. Hal tersebut sontak membuat Rere meneteskan airmata. Ia tak menyangka jika Rani begitu membencinya.
"Dan satu lagi Re, kau sudah menikah. Kau harus mengurus suamimu. Bukannya nongkrong di cafe bersama teman-temanmu SMA dulu. Dunia kalian berbeda. Ingat itu." Ranipun meninggalkan Rere yang menangis karena ucapannya.
Sejak mendengar ucapan Rani tersebut, Rere berusaha untuk memperbaiki sikapnya. Ia berusaha bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Namun bukannya pujian yang ia dapat, seisi rumah mala tidak mau memakan sarapan yang ia buat lantaran begitu asin.
Hal itu langsung membuat Rani marah. Di depan keluarga yang lain, Ranipun mengatakan bahwa Rere adalah wanita yang bodoh. Ibu Dio yang tidak ingin ada keributan langsung memarahi Rani dan menyuruhnya pergi. Sementara itu Dio berusaha untuk menenangkan Rere yang terlihat menangis.
Hari-hari Rere semakin suram. Ia selalu merasa tertekan. Ia berusaha belajar memasak tapi hasilnya selalu tidak disukai. Sesekali ia memutuskan untuk bertemu teman-temannya di cafe untuk melepas penat, tapi ia mala merasa minder karena teman-temannya seringkali menyindir statusnya sebagai istri. Tak jarang, Rani memarahinya jika ia tahu Rere nongkrong di cafe.
Semua itu membuat Rere semakin tertekan. Setiap hari Rere menangis menerima perlakuan Rani dan orang-orang di sekitarnya. Ia ingin bercerita kepada Lia tapi ia merasa takut. Ia sudah berjanji untuk tidak menceritakan apapun masalah yang ia hadapi dalam rumahtangganya. Ia selalu mengaku baik-baik saja saat Ibu atau kakaknya menelepon. Semua itu membuat Rere merasa menderita.
Suatu hari, Rere bangun lebih awal. Ia memutuskan untuk membuat sarapan. Entah apa yang ada di dalam fikirannya, Rerepun tak sengaja membuat kompor gas yang ia pakai meletup dan menyebabkan kebakaran. Seluruh keluarga menjadi panik saat mendengar teriakan Rere.
Dengan terburu-buru, Dio dan Ayahnya berusaha memadamkan api. Sementara Rani dan Ibu berusaha memadamkan api yang membakar pakaian dan tubuh Rere. Meski berhasil diselamatkan, Rere mengalami luka bakar yang cukup serius. Ia mengalami luka bakar pada bagian wajah, tangan, dan punggungnya. Hal itu menyebabkan Rere harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.
Keluarga Rere yang menerima berita duka itupun tak kuasa menahan tangis saat melihat wajah Rere yang tak bisa lagi dikenali. Luka bakar itu telah merenggut kecantikan Rere. Hal tersebut juga membuat Rere terpukul. Saat mengetahui wajahnya rusak akibat luka bakar, Rere menangis histeris dan berkali-kali jatuh pingsan.
Keluarga Rere berusaha menerima kenyataan tersebut dan tidak menyalahkan siapapun karena hal tersebut memang murni kecelakaan. Sekalipun mereka bersedih melihat kondisi Rere, setidaknya mereka sedikit bahagia saat mengetahui bahwa ternyata Rere telah hamil. Usia kandungannya memasuki 3 minggu.
Berbeda dengan orangtua mereka yang bahagia mendengar kabar kehamilan Rere, Lia justru merasa sedih karena ia merasa Rere belum siap untuk itu. Hal itu membuat Rere semakin cemas, terlebih ia melihat Rere masih tenggelam dalam kesedihan akibat luka bakar yang merusak wajahnya.
Rere selalu mengunci diri di kamar. Ia tak bisa menerima kenyataan yang ia hadapi. Kini tak ada lagi wajah yang cantik. Hanya ada wanita dengan wajah buruk rupa akibat luka terbakar. Teman-teman Rere semasa SMA bahkan pernah mengejek Rere ketika berpapasan. Saat mereka sadar itu Rere, mereka segera minta maaf namun hal tersebut terlanjur membuat Rere sakit hati dan terluka.
Sepanjang hari Rere mengutuk dirinya di kamar. Ia terus menangis dan tidak mau memperhatikan kandungannya. Hal itu membuat keluarga khawatir. Rani yang merasa bersalah atas kejadian yang menimpah Rere berusaha berbicara dengannya. Suatu malam, Rani memasuki kamar Rere. Ia mengaku menyesal atas tindakannya pada Rere. Ia juga menangis sembari memeluk Rere.
Rere hanya diam dengan tatapan kosong menghadap cermin. Ia selalu memandangi wajahnya yang buruk rupa dan sesekali meneteskan airmata. Semua orang berusaha untuk membujuk Rere agar mau makan demi jabang bayi yang ia kandung. Namun Rere sepertinya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Semakin hari kondisi Rere semakin memburuk. Ia sama sekali tidak mau melakukan apapun kecuali menangis di depan cermin. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya pucat. Ia hanya diam saat orang mengajaknya berbicara. Ia sangat jarang makan padahal kandungannya sudah memasuki usia 2 bulan.
Karena khawatir dengan kondisi kejiwaan Rere, Dio mencoba mendiskusikan dengan keluarga untuk melakukan operasi palstik agar wajah Rere tidak terlihat buruk. Dio berharap setidaknya hal tersebut bisa mengurangi tekanan jiwa Rere.
Keluarga Rere dan Dio akhirnya setuju agar Rere melakukan operasi pelastik. Namun saat mereka mengkonsultasikan hal tersebut ke dokter, dokter mengatakan bahwa operasi tidak bisa dilakukan karena kondisi kesehatan Rere sangat buruk. Diopun berusaha keras untuk membujuk Rere agar menjaga kesehatannya tapi hal itu sia-sia. Rere tak lagi mau mendengar apapun dan dari siapapun. Sepanjang hari ia hanya menangis sambil memandangi cermin.
Karena tak mau makan, kondisi Rere semakin memburuk, begitu juga kandungannya. Orangtua Rerepun memutuskan untuk meminta bantuan fakar psikoanalisis. Rerepun akhirnya menjalani terapi di rumahnya. Setiap hari seorang psikiater datang untuk mengecek perkembangan jiwa Rere. Rerepun terpaksa disuntik nutrisi dan obat karena ia sama sekali tidak mau makan.
Akan tetapi, bukannya semakin membaik, kondisi Rere justru semakin parah. Ia benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya. Terkadang ia menangis terseduh-seduh, dan kemudian tertawa girang tak lama setelah itu. Orangtua Rere akhirnya berniat untuk menghentikan terapi dan pasrah.Akan tetapi, Dio bersikeras untuk terus memberikan Rere terapi. Diopun memutuskan untuk menemani Rere sepanjang hari.
Tak jarang, Dio ikut menangis saat Rere menangis, dan ikut tertawa saat Rere tertawa. Dio terus berusaha menyadarkan Rere dan mengajaknya bicara. Meski sia-sia, Dio tak pernah berhenti. Ia terus menceritakan kepada Rere tentang perasaannya kepada Rere, tentang kisah cinta mereka, dan janji mereka untuk terus mencintai sebagai suami istri apapun yang terjadi.
Setelah hampir sebulan penuh dalam kondisi yang kritis, akhirnya Rere menunjukkan perkembangan. Suatu hari, saat terbangun dan mendengar adzan subuh, Rere membangunkan Dio yang tertidur di atas sofa tepat di sebelahnya. Ia meminta Dio membantunya untuk mandi dan berwudhu. Rere mengatakan bahwa ia ingin salat. Hal itu sontak membuat Dio menangis.
Untuk kali pertama sejak Rere mengalami kecelakaan akhirnya ia mau berbicara lagi. Dengan semangat dan penuh cinta Dio menuntun Rere ke kamar mandi dan membantunya untuk membersihkan tubuhnya. Setelah itu Diopun menjadi imam salat subuh mereka.
Selesai salat, Dio menatap mata Rere yang kembali bercahaya dan mencium keningnya yang masih dipenuhi bekas luka bakar. Rerepun meneteskan airmata sembari berkata, "Maafkan aku , aku ternyata tak sekuat yang aku kira jauh sebelum kita menikah. Tapi aku mengerti kau mencintaiku dengan tulus dan itu menguatkanku."
Dio segera memeluk Rere dan ia bisa merasakan Rere membalas pelukannya.
Entah apa yang terjadi pagi itu sehingga mengubah segalanya, yang pasti Rere mulai berusaha untuk menerima kenyataan yang ia hadapi. Ia juga berjanji untuk menjaga kesehatan sang bayi yang tengah ia kandung. Rere juga menolak untuk melakukan operasi pelastik.
"Aku ingin selalu berada di saat-saat dimana aku pertama kali menemukanmu benar-benar mencintaiku sekalipun aku dengan wajah ini"
"Apa kau sudah gila Re? menikah bukan perkara yang mudah. Kau harus memikirkan itu matang-matang." ucap Lia.
"Kak, aku udah besar dan Dio juga udah siap. Dia punya pekerjaan. Dia mandiri. Kakak tahu kan gimana karakter Dio. Dia pekerja keras kak. Jadi apalagi yang perlu difikirkan?" bela Rere.
Rere dan Liapun terus berdebat sepanjang malam di kamar Lia.
"Oke kakak tahu Dio itu mandiri, dewasa, dan bertanggungjawab. Kakak yakin dia bisa jadi imam buat kamu. Tapi Rere, kalian masih sangat mudah. Mental kalian masih belum stabil. Kamu ngurus diri sendiri aja belum bisa, gimana mau ngusurs suami? belum lagi kalau kalian punya anak. Memangnya kamu siap menggendong dan mengurus anak sementara teman-temanmu menikmati masa muda mereka dengan kuliah dan bersenang-senang? Rere, menikah itu tidak sesederhana yang kamu fikirkan." Lia berusaha memberi pengertian pada Rere.
"Kak, kakak gak setuju bukan karena alasan itu kan? Bilang aja kakak malu kalau Rere melangkahi kakak? Iya kan?" Ledek Rere.
"Apa?" Lia tercengang.
"Kak, banyak kok orang yang nikah muda. Artis-artis juga udah banyak yang nikah muda. Mereka baik-baik aja kok. Justru itulah saat yang tepat untuk mendewasakan diri kak. Rere udah puas kok bersenang-senang dengan masa muda Rere. Udah cukup kak."
"Re,,,"
"Kak, pokoknya kakak bantu Rere ya, please ! Rere sayang Dio kak. Rere gak mau Dio ketemu cewek lain di perkuliahan dan meninggalkan Rere. Kakak sayang kan sama Rere. Plis bantu Rere meyakinkan Bapak sama Ibuk kak." Rere mulai memelas.
Karena Rere adik satu-satunya dan Lia sangat menyayanginya, Liapun setuju untuk membantu Rere meyakinkan orangtua mereka. Dengan sedikit bersusah payah dan berdebat, akhirnya orangtua Rere menyetujui rencana lamaran tersebut dengan syarat Rere harus siap dengan kosekuensi yang akan dia hadapi setelah menikah.
Orangtua Rere juga meminta agar Rere tidak pernah berniat bercerai jika mereka memiliki masalah.
"Menikah hanya sekali. Jangan pernah berfikir untuk bercerai. Kalau kau melakukannya, Bapak gak akan mau membantumu. Bapak tidak suka perceraian. mengerti?"
"Mengerti Pak, Buk, makasih ya udah mau merestui Rere buat nikah." Rere tersenyum sumringah.
Awalnya Rere merasa sangat senang karena keluarga Dio sangat ramah dan menyayangi ia seperti layaknya keluarga sendiri. Selang 2 minggu semenjak ia tinggal di rumah mertua, kehidupanpun terasa mulai berubah. Terlebih saat Rani, kakak kandung Dio yang kuliah di Jakarta lulus dan balik ke rumah.
Rani yang pembersih dan rajin tidak begitu suka melihat Rere yang sama sekali tidak tahu bekerja. Menyiapkan sarapan untuk Diopun ia tak bisa. Tak seperti Ibu Dio yang sabar mengajari Rere, Rani terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Rere. Saat Dio bekerja, tanpa sepengetahuan orang lain Rani menemui Rere dan mengatakan padanya bahwa ia samasekali tidak pantas menjadi seorang istri.
Tak segan-segan Rani juga mengatakan ia menyesal menyetujui Dio menikahi Rere. Tak hanya itu, Rani juga berharap Dio bisa membuka mata agar tidak terus-menerus menutupi kebodohan istrinya. Hal tersebut sontak membuat Rere meneteskan airmata. Ia tak menyangka jika Rani begitu membencinya.
"Dan satu lagi Re, kau sudah menikah. Kau harus mengurus suamimu. Bukannya nongkrong di cafe bersama teman-temanmu SMA dulu. Dunia kalian berbeda. Ingat itu." Ranipun meninggalkan Rere yang menangis karena ucapannya.
Sejak mendengar ucapan Rani tersebut, Rere berusaha untuk memperbaiki sikapnya. Ia berusaha bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Namun bukannya pujian yang ia dapat, seisi rumah mala tidak mau memakan sarapan yang ia buat lantaran begitu asin.
Hal itu langsung membuat Rani marah. Di depan keluarga yang lain, Ranipun mengatakan bahwa Rere adalah wanita yang bodoh. Ibu Dio yang tidak ingin ada keributan langsung memarahi Rani dan menyuruhnya pergi. Sementara itu Dio berusaha untuk menenangkan Rere yang terlihat menangis.
Hari-hari Rere semakin suram. Ia selalu merasa tertekan. Ia berusaha belajar memasak tapi hasilnya selalu tidak disukai. Sesekali ia memutuskan untuk bertemu teman-temannya di cafe untuk melepas penat, tapi ia mala merasa minder karena teman-temannya seringkali menyindir statusnya sebagai istri. Tak jarang, Rani memarahinya jika ia tahu Rere nongkrong di cafe.
Semua itu membuat Rere semakin tertekan. Setiap hari Rere menangis menerima perlakuan Rani dan orang-orang di sekitarnya. Ia ingin bercerita kepada Lia tapi ia merasa takut. Ia sudah berjanji untuk tidak menceritakan apapun masalah yang ia hadapi dalam rumahtangganya. Ia selalu mengaku baik-baik saja saat Ibu atau kakaknya menelepon. Semua itu membuat Rere merasa menderita.
Suatu hari, Rere bangun lebih awal. Ia memutuskan untuk membuat sarapan. Entah apa yang ada di dalam fikirannya, Rerepun tak sengaja membuat kompor gas yang ia pakai meletup dan menyebabkan kebakaran. Seluruh keluarga menjadi panik saat mendengar teriakan Rere.
Dengan terburu-buru, Dio dan Ayahnya berusaha memadamkan api. Sementara Rani dan Ibu berusaha memadamkan api yang membakar pakaian dan tubuh Rere. Meski berhasil diselamatkan, Rere mengalami luka bakar yang cukup serius. Ia mengalami luka bakar pada bagian wajah, tangan, dan punggungnya. Hal itu menyebabkan Rere harus dirawat beberapa hari di rumah sakit.
Keluarga Rere yang menerima berita duka itupun tak kuasa menahan tangis saat melihat wajah Rere yang tak bisa lagi dikenali. Luka bakar itu telah merenggut kecantikan Rere. Hal tersebut juga membuat Rere terpukul. Saat mengetahui wajahnya rusak akibat luka bakar, Rere menangis histeris dan berkali-kali jatuh pingsan.
Keluarga Rere berusaha menerima kenyataan tersebut dan tidak menyalahkan siapapun karena hal tersebut memang murni kecelakaan. Sekalipun mereka bersedih melihat kondisi Rere, setidaknya mereka sedikit bahagia saat mengetahui bahwa ternyata Rere telah hamil. Usia kandungannya memasuki 3 minggu.
Berbeda dengan orangtua mereka yang bahagia mendengar kabar kehamilan Rere, Lia justru merasa sedih karena ia merasa Rere belum siap untuk itu. Hal itu membuat Rere semakin cemas, terlebih ia melihat Rere masih tenggelam dalam kesedihan akibat luka bakar yang merusak wajahnya.
Rere selalu mengunci diri di kamar. Ia tak bisa menerima kenyataan yang ia hadapi. Kini tak ada lagi wajah yang cantik. Hanya ada wanita dengan wajah buruk rupa akibat luka terbakar. Teman-teman Rere semasa SMA bahkan pernah mengejek Rere ketika berpapasan. Saat mereka sadar itu Rere, mereka segera minta maaf namun hal tersebut terlanjur membuat Rere sakit hati dan terluka.
Sepanjang hari Rere mengutuk dirinya di kamar. Ia terus menangis dan tidak mau memperhatikan kandungannya. Hal itu membuat keluarga khawatir. Rani yang merasa bersalah atas kejadian yang menimpah Rere berusaha berbicara dengannya. Suatu malam, Rani memasuki kamar Rere. Ia mengaku menyesal atas tindakannya pada Rere. Ia juga menangis sembari memeluk Rere.
Rere hanya diam dengan tatapan kosong menghadap cermin. Ia selalu memandangi wajahnya yang buruk rupa dan sesekali meneteskan airmata. Semua orang berusaha untuk membujuk Rere agar mau makan demi jabang bayi yang ia kandung. Namun Rere sepertinya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Semakin hari kondisi Rere semakin memburuk. Ia sama sekali tidak mau melakukan apapun kecuali menangis di depan cermin. Rambutnya acak-acakan dan wajahnya pucat. Ia hanya diam saat orang mengajaknya berbicara. Ia sangat jarang makan padahal kandungannya sudah memasuki usia 2 bulan.
Karena khawatir dengan kondisi kejiwaan Rere, Dio mencoba mendiskusikan dengan keluarga untuk melakukan operasi palstik agar wajah Rere tidak terlihat buruk. Dio berharap setidaknya hal tersebut bisa mengurangi tekanan jiwa Rere.
Keluarga Rere dan Dio akhirnya setuju agar Rere melakukan operasi pelastik. Namun saat mereka mengkonsultasikan hal tersebut ke dokter, dokter mengatakan bahwa operasi tidak bisa dilakukan karena kondisi kesehatan Rere sangat buruk. Diopun berusaha keras untuk membujuk Rere agar menjaga kesehatannya tapi hal itu sia-sia. Rere tak lagi mau mendengar apapun dan dari siapapun. Sepanjang hari ia hanya menangis sambil memandangi cermin.
Karena tak mau makan, kondisi Rere semakin memburuk, begitu juga kandungannya. Orangtua Rerepun memutuskan untuk meminta bantuan fakar psikoanalisis. Rerepun akhirnya menjalani terapi di rumahnya. Setiap hari seorang psikiater datang untuk mengecek perkembangan jiwa Rere. Rerepun terpaksa disuntik nutrisi dan obat karena ia sama sekali tidak mau makan.
Akan tetapi, bukannya semakin membaik, kondisi Rere justru semakin parah. Ia benar-benar tidak bisa mengontrol dirinya. Terkadang ia menangis terseduh-seduh, dan kemudian tertawa girang tak lama setelah itu. Orangtua Rere akhirnya berniat untuk menghentikan terapi dan pasrah.Akan tetapi, Dio bersikeras untuk terus memberikan Rere terapi. Diopun memutuskan untuk menemani Rere sepanjang hari.
Tak jarang, Dio ikut menangis saat Rere menangis, dan ikut tertawa saat Rere tertawa. Dio terus berusaha menyadarkan Rere dan mengajaknya bicara. Meski sia-sia, Dio tak pernah berhenti. Ia terus menceritakan kepada Rere tentang perasaannya kepada Rere, tentang kisah cinta mereka, dan janji mereka untuk terus mencintai sebagai suami istri apapun yang terjadi.
Setelah hampir sebulan penuh dalam kondisi yang kritis, akhirnya Rere menunjukkan perkembangan. Suatu hari, saat terbangun dan mendengar adzan subuh, Rere membangunkan Dio yang tertidur di atas sofa tepat di sebelahnya. Ia meminta Dio membantunya untuk mandi dan berwudhu. Rere mengatakan bahwa ia ingin salat. Hal itu sontak membuat Dio menangis.
Untuk kali pertama sejak Rere mengalami kecelakaan akhirnya ia mau berbicara lagi. Dengan semangat dan penuh cinta Dio menuntun Rere ke kamar mandi dan membantunya untuk membersihkan tubuhnya. Setelah itu Diopun menjadi imam salat subuh mereka.
Selesai salat, Dio menatap mata Rere yang kembali bercahaya dan mencium keningnya yang masih dipenuhi bekas luka bakar. Rerepun meneteskan airmata sembari berkata, "Maafkan aku , aku ternyata tak sekuat yang aku kira jauh sebelum kita menikah. Tapi aku mengerti kau mencintaiku dengan tulus dan itu menguatkanku."
Dio segera memeluk Rere dan ia bisa merasakan Rere membalas pelukannya.
Entah apa yang terjadi pagi itu sehingga mengubah segalanya, yang pasti Rere mulai berusaha untuk menerima kenyataan yang ia hadapi. Ia juga berjanji untuk menjaga kesehatan sang bayi yang tengah ia kandung. Rere juga menolak untuk melakukan operasi pelastik.
"Aku ingin selalu berada di saat-saat dimana aku pertama kali menemukanmu benar-benar mencintaiku sekalipun aku dengan wajah ini"
0 comments :
Post a Comment