Teknokiper.com - Cerpen Inspirasi tentang Ayah dan Anak Laki-laki. Cerita pendek berikut ini merupakan cerpen fiksi yang bercerita tentang hubungan antara seorang ayah dan anak laki-lakinya. Kisah ini bisa jadi mewakili banyak ayah dan anak laki-laki di luar sana yang seringkali tidak akur padahal sebenarnya saling menyayangi. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa hubungan antara Ayah dan anak laki-laki memang seringkali tidak harmonis karena faktor-faktor tertentu misalnya perbedaan prinsip dan perbedaan cita-cita. Tapi cerpen ini tidak ditulis untuk melihat betapa kedua figur itu bisa saling memusuhi melainkan melihat sisi lain yang mungkin tidak semua orang bisa menyadarinya. Selamat membaca!
Pagi ini lagi-lagi Reno mendapat omelan dari sang Ayah. Entah sudah berapa kali sang Ayah memanggilnya namun Reno sepertinya masih enggan keluar dari kamarnya. Mungkin saja ia takut atau bahkan sudah bosan terlalu sering berdebat dengan sang Ayah.
Tak berapa lama pintu kamar kembali diketuk. Tapi kali ini suara Ibu yang terdengar dari luar. Sang Ibu meminta Reno untuk keluar dan membicarakan kembali secara baik-baik permasalahannya dengan sang Ayah. Sang Ibu bahkan memohon pada Reno untuk bersikap dewasa.
Reno akhirnya keluar setelah membasuh wajah dan menyikat giginya. Ia membuka pintu dan melihat sang Ibu memberikan kode padanya. Ia tahu kemana harus pergi untuk menemui sang Ayah. Seperti biasa, perpustakaan mini merupakan lokasi favorit sanga Ayah untuk berbincang.
Tapi kali ini akan berbeda. Sang Ayah jelas sedang sangat marah pada Reno dan mungkin mereka sama-sama akan bersikap keras kepala untuk pendirian masing-masing. Meski begitu tetap saja Reno memberanikan diri menemui Ayahnya.
Setibanya di perpustakaan yang terletak di lantai dua rumah mereka, seperti yang diduga oleh Reno, sang Ayah tengah duduk di kursi favoritnya menghadap tepat ke pintu utama sehingga begitu Reno masuk ia langsung berhadapan dengan wajah sang Ayah yang terlihat tidak bersahabat.
"Aku sudah menjelaskannya Ayah", ucap Reno membuka perbincangan mereka.
"Apa? Apa yang kau jelaskan?"
"Apa yang sebenarnya Ayah inginkan?", Reno justru kembali bertanya. "Jika Ayah ingin aku menuruti kemauan Ayah, maka Ayah sudah tahu aku tidak akan menurutinya! Aku akan melakukan apa yang aku mau. Aku yang menjalani hidupku bukan Ayah!", suara Reno sudah mulai meninggi.
"Pergilah! Ayah tidak akan menghalangimu. Ayah melakukan yang Ayah bisa tapi sepertinya tidak ada harapan. Pergilah! Lanjutkan keinginanmu. Tak perlu kembali lagi untuk membuktikan kau benar atau salah!", sang Ayah berdiri meninggalkan kursinya dan berjalan ke balik rak buku.
Merasa sang Ayah tak adil, Reno pun berteriak. Ia kesal karena sang Ayah mengusirnya. Meski begitu, jiwa mudanya membawa Reno tetap pada pendiriannya. Ia memutuskan untuk pergi mengejar impiannya dan meninggalkan rumahnya meski tanpa dukungan sang Ayah.
Mengetahui Reno pergi, sang Ibu hanya menangis sambil menemui sang suami. Ia meminta suaminya untuk terus membujuk Reno dan tidak menyerah pada keegoisan Reno. Namun sama seperti Reno, sang Ayah juga sudah teguh pada pendiriannya dan tidak akan mengemis pada Reno untuk kembali.
Sejak kejadian itu, Reno sangat membenci Ayahnya. Bukan hanya karena sifat sang Ayah yang egois tapi juga karena sang Ayah tidak mau lagi membiayai kuliah Reno. Meskipun Reno berhasil mendapat beasiswa untuk jurusan kedokteran, ia tetap harus bekerja untuk menanggung biaya yang lain.
Sang Ibu beberapa kali mengiriminya uang dan Ia sangat bersyukur karena sang Ibu masih begitu peduli padanya. Hanya saja di tahun-tahun terakhirnya kuliah, sang Ibu tidak lagi mengirimi uang sebab sang Ayah sangat marah. Ternyata selama ini sang Ibu mengirim uang secara diam-diam.
Mengetahui kenyataan itu, Reno pun semakin marah. Ia semakin membenci sang Ayah. Ia tidak tahu mengapa sang Ayah begitu ngotot agar Reno kuliah di jurusan pendidikan dan seolah-olah berusaha mengahalangi Reno yang ingin menjadi seorang dokter. Reno pun berfikir bahwa sang Ayah sengaja melarang sang Ibu mengirim uang agar Reno kesulitan.
Dan sesuai dengan pemikirannya, Reno memang pada akhirnya mengalami banyak kesulitan karena kekurangan uang. Ia terpaksa pindah ke asrama kampus karena biaya di sana cenderung lebih murah. Tentu saja asrama itu tidak dilengkapi dengan fasilitas yang semala ini ia dapatkan.
Pada titik-titik terendah perjuangannya, sang Ibu membujuk Reno untuk kembali dan memulai kuliah di jurusan yang dipilih sang Ayah. Reno yang mulai stress dengan biaya hidup semakin merasa direndahkan oleh sang Ayah.
Karena kesal, Reno lantas menukar nomor teleponnya agar sang Ibu tidak lagi bisa menghubunginya. Pada saat itu, Reno bahkan sudah tidak mau lagi berurusan dengan keluarganya. Ia menganggap sang Ayah adalah musuhnya dan dia akan terus berjuang untuk membuktikan bahwa ia bisa berhasil tanpa bantuan sang Ayah.
Setelah melewati masa-masa sulitnya tanpa dukungan keluarga, Reno akhirnya berhasil lulus dan menikah dua tahun setelah kelulusannya. Reno juga berhasil melanjutkan pendidikan profesi dokter pasca sarjana dan mengambil spesialis bedah.
Delapan tahun menikah, Reno dikaruniai dua orang putra. Dengan bujukan sang istri dan permintaan dari anak-anaknya, Reno akhirnya setuju untuk mengunjungi keluarganya. Meski tidak yakin bagaimana menghadapi sang Ayah, Reno memutuskan untuk membuang jauh dendamnya. Bagaimanapun ia tidak dapat memungkiri bahwa pria itu adalah Ayahnya, bagaimanpun sifatnya.
Setibanya di kediaman orangtua Reno, mereka disambut oleh sang Ibu yang memeluk istri dan anak-anak Reno dengan pelukan hangat. Ia juga memberikan pelukan yang sama hangatnya kepada Reno. Mendapat sambutan itu, Reno pun tak mampu menahan airmatanya.
Bukan kehangatan sang Ibu yang membuatnya menangis, tapi melihat wajah sang Ibu yang menua dengan kerutan di wajahnya membuat Reno merasa bersalah telah meninggalkan orangtuanya begitu lama. Dipandangnya sekeliling rumah, matanya bergerak liar mencari sosok pria yang mungkin tidak segagah dulu lagi.
Tak berapa lama, muncullah sesosok pria tua yang wajahnya sudah mulai kempot dan rambutnya sudah beruban. Sambil berjalan perlahan-lahan menuruni anak tangga, Ia melemparkan senyum kepada para cucunya dan segera memeluk mereka begitu ia sampai.
Untuk sesaat, Reno bertanya-tanya di dalam hati mengapa sang Ayah begitu yakin bahwa kedua bocah itu adalah cucunya. Namun pertanyaan tersebut hilang dengan sendirinya saat sang Ayah mendekat padanya dan memeluk ia dengan erat meskipun pegangannya tidak lagi seerat dulu.
Meski tidak berkata apa-apa, air mata Reno pun benar-benar tidak terbendung. Ia menangis terseduh seolah-olah tak perduli kedua jagoannya menyaksikannya menangis seperti anak kecil. Dalam fikirannya, dia memang masih anak kecil. Anak kecil sang Ayah yang kini sudah menua.
Berbeda dengan Reno, sang Ayah sepertinya berusaha sekuat mungkin untuk menahan airmatanya. Ia menepuk lembut bahu Reno dan meminta sang istri untuk menyiapkan makanan.
Selagi istri dan Ibunya sibuk di dapur, Reno mencoba membuka sebuah kamar yang tidak asing baginya. Dipadangnya lekat-lekat kamar yang dulu pernah menjadi miliknya itu. Kamar itu sama sekali tidak berubah. Semua barang-barang yang ia masih tersusun rapi di sana.
Merasa puas bernostalgia dengan kamarnya, Reno ditarik oleh putranya yang berusia lima tahun. Dari cara bocah itu menarik tangannya, Reno seolah melihat dirinya sendiri. Ia ingat betul ia pernah melakukan hal yag serupa kepada Ayahnya.
Bocah itu menarik Reno dan mengajaknya ke halaman belakang untuk melihat danau yang berada di belakang rumah. Untuk sesaat, Reno merasa kembali ke masa lalu dimana ia dan sang Ayah berjalan ke tepi danau. Hanya saja. kali ini ia berada di posisi sang Ayah.
Sambil berjalan menuntun anaknya, Reno tertegun melihat kemiripan antara dia dan anaknya. Bocah itu bahan mulai bertingkah sama persis seperti ia dulu. Ia mulai bercerita tentang hobinya dan ketertarikannya akan danau yang sedang mereka lihat.
Seolah ingin benar-benar mengulang masa-masa itu, Reno pun akhirnya bertanya kepada anaknya mengenai cita-cita sang anak. Ia menanyakan pertanyaan yang persis seperti yang diajukan oleh Ayahnya beberapa tahun yang lalu. Entah mengapa, Reno merasa penasaran dengan jawaban yang akan diberikan sang anak.
Saat mendengar jawaban sang anak, Reno pun merasa terkejut. Ia begitu terkejut sampai-sampai tidak dapat menahan airmatanya. Reno pun menggendong sang anak sambil menangis, berjalan menuju rumah dan segera mencari Ayahnya.
Sambil terus menangis seperti anak kecil, Reno berjalan menuju ke kamar sang Ayah. Melihat tingkah Reno, sang istri berusaha menenangkan anaknya yang juga ikut menangis. Di tempat yang sama, sang Ibu mencoba menjelaskan apa yang mungkin terjadi.
Tangisan Reno pun semakin menjadi saat ia tiba di kamar sang Ayah. Ia buka pintu kamar tanpa mengetuk dan segera dipeluknya sang Ayah yang tengah tertidur. Pria itu terlihat tertidur sambil memeluk sebuah album foto keluarga mereka.
Sang Ayah terkejut mendapati Reno menangis sambil memeluknya. Meski tidak mengatakan apa-apa, sang Ayah tahu bahwa Reno mungkin telah menyadari sesuatu. Sesuatu yang selama ini telah ia coba untuk jelaskan kepada Reno. Ia pun membiarkan Reno menangis di dekapannya.
Ketika Reno berusia lima tahun, ia sangat dekat dengan sang Ayah. Mereka melakukan banyak hal bersama dan sering menghabiskan waktu sore hari di tepi danau. Terkadang sambil memancing dan bercerita banya hal.
Suatu hari, sang Ayah bertanya pada Reno tentang cita-citanya. Dengan mantap Reno mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang guru. Sang Ayah lantas bertanya apakah Reno tidak tertarik menjadi dokter? Reno kemudian berubah fikiran dan mengatakan bahwa ia ingin menjadi dokter.
Untuk mencapai cita-cita itu, Reno belajar dengan keras dan sang Ayah selalu membantunya dengan membelikan ia buku tentang kedokteran. Sang Ayah bahkan membuatkan perpustakaan di rumah untuk mengumpulkan koleksi buku yang dipelajari oleh Reno.
Saat Reno berumur 12 tahun, Ia dan abangnya mengalami kecelakaan sepulang dari pasar. Saat itu keduanya terluka parah. Mereka segera dilarikan ke rumah sakit dan dokter dengan segera menangani mereka. Dokter yang menagani mereka tidak lain adalah sang Ayah sendiri. Namun sayang, abang Reno tidak terselamatkan dan Reno mengalami hilang ingatan.
Karena gagal menyelamatkan nyawa sang anak, Ayah Reno merasa frustasi dan kehilangan kepercayaan diri. Seteleh berjuang melewati masa-masa sulit itu, sang Ayah pun memutuskan untuk mengubah segalanya. Ia berhenti dari profesinya dan memutuskan untuk berkebun.
Ia membakar semua buku tentang kedokteran yang ia punya di perpustakaan dan menggantinya dengan buku-buku tentang pendidikan guru. Ia membimbing Reno untuk menjadi guru dan selalu mengatakan bahwa cita-cita Reno adalah menjadi seorang guru. Bukan karena tak ingin Reno menjadi dokter, hanya tak ingin Reno merasakan perasaan yang sama.
Pagi ini lagi-lagi Reno mendapat omelan dari sang Ayah. Entah sudah berapa kali sang Ayah memanggilnya namun Reno sepertinya masih enggan keluar dari kamarnya. Mungkin saja ia takut atau bahkan sudah bosan terlalu sering berdebat dengan sang Ayah.
Tak berapa lama pintu kamar kembali diketuk. Tapi kali ini suara Ibu yang terdengar dari luar. Sang Ibu meminta Reno untuk keluar dan membicarakan kembali secara baik-baik permasalahannya dengan sang Ayah. Sang Ibu bahkan memohon pada Reno untuk bersikap dewasa.
Reno akhirnya keluar setelah membasuh wajah dan menyikat giginya. Ia membuka pintu dan melihat sang Ibu memberikan kode padanya. Ia tahu kemana harus pergi untuk menemui sang Ayah. Seperti biasa, perpustakaan mini merupakan lokasi favorit sanga Ayah untuk berbincang.
Tapi kali ini akan berbeda. Sang Ayah jelas sedang sangat marah pada Reno dan mungkin mereka sama-sama akan bersikap keras kepala untuk pendirian masing-masing. Meski begitu tetap saja Reno memberanikan diri menemui Ayahnya.
Setibanya di perpustakaan yang terletak di lantai dua rumah mereka, seperti yang diduga oleh Reno, sang Ayah tengah duduk di kursi favoritnya menghadap tepat ke pintu utama sehingga begitu Reno masuk ia langsung berhadapan dengan wajah sang Ayah yang terlihat tidak bersahabat.
"Aku sudah menjelaskannya Ayah", ucap Reno membuka perbincangan mereka.
"Apa? Apa yang kau jelaskan?"
"Apa yang sebenarnya Ayah inginkan?", Reno justru kembali bertanya. "Jika Ayah ingin aku menuruti kemauan Ayah, maka Ayah sudah tahu aku tidak akan menurutinya! Aku akan melakukan apa yang aku mau. Aku yang menjalani hidupku bukan Ayah!", suara Reno sudah mulai meninggi.
"Pergilah! Ayah tidak akan menghalangimu. Ayah melakukan yang Ayah bisa tapi sepertinya tidak ada harapan. Pergilah! Lanjutkan keinginanmu. Tak perlu kembali lagi untuk membuktikan kau benar atau salah!", sang Ayah berdiri meninggalkan kursinya dan berjalan ke balik rak buku.
Merasa sang Ayah tak adil, Reno pun berteriak. Ia kesal karena sang Ayah mengusirnya. Meski begitu, jiwa mudanya membawa Reno tetap pada pendiriannya. Ia memutuskan untuk pergi mengejar impiannya dan meninggalkan rumahnya meski tanpa dukungan sang Ayah.
Mengetahui Reno pergi, sang Ibu hanya menangis sambil menemui sang suami. Ia meminta suaminya untuk terus membujuk Reno dan tidak menyerah pada keegoisan Reno. Namun sama seperti Reno, sang Ayah juga sudah teguh pada pendiriannya dan tidak akan mengemis pada Reno untuk kembali.
Sejak kejadian itu, Reno sangat membenci Ayahnya. Bukan hanya karena sifat sang Ayah yang egois tapi juga karena sang Ayah tidak mau lagi membiayai kuliah Reno. Meskipun Reno berhasil mendapat beasiswa untuk jurusan kedokteran, ia tetap harus bekerja untuk menanggung biaya yang lain.
Sang Ibu beberapa kali mengiriminya uang dan Ia sangat bersyukur karena sang Ibu masih begitu peduli padanya. Hanya saja di tahun-tahun terakhirnya kuliah, sang Ibu tidak lagi mengirimi uang sebab sang Ayah sangat marah. Ternyata selama ini sang Ibu mengirim uang secara diam-diam.
Mengetahui kenyataan itu, Reno pun semakin marah. Ia semakin membenci sang Ayah. Ia tidak tahu mengapa sang Ayah begitu ngotot agar Reno kuliah di jurusan pendidikan dan seolah-olah berusaha mengahalangi Reno yang ingin menjadi seorang dokter. Reno pun berfikir bahwa sang Ayah sengaja melarang sang Ibu mengirim uang agar Reno kesulitan.
Dan sesuai dengan pemikirannya, Reno memang pada akhirnya mengalami banyak kesulitan karena kekurangan uang. Ia terpaksa pindah ke asrama kampus karena biaya di sana cenderung lebih murah. Tentu saja asrama itu tidak dilengkapi dengan fasilitas yang semala ini ia dapatkan.
Pada titik-titik terendah perjuangannya, sang Ibu membujuk Reno untuk kembali dan memulai kuliah di jurusan yang dipilih sang Ayah. Reno yang mulai stress dengan biaya hidup semakin merasa direndahkan oleh sang Ayah.
Karena kesal, Reno lantas menukar nomor teleponnya agar sang Ibu tidak lagi bisa menghubunginya. Pada saat itu, Reno bahkan sudah tidak mau lagi berurusan dengan keluarganya. Ia menganggap sang Ayah adalah musuhnya dan dia akan terus berjuang untuk membuktikan bahwa ia bisa berhasil tanpa bantuan sang Ayah.
Setelah melewati masa-masa sulitnya tanpa dukungan keluarga, Reno akhirnya berhasil lulus dan menikah dua tahun setelah kelulusannya. Reno juga berhasil melanjutkan pendidikan profesi dokter pasca sarjana dan mengambil spesialis bedah.
Delapan tahun menikah, Reno dikaruniai dua orang putra. Dengan bujukan sang istri dan permintaan dari anak-anaknya, Reno akhirnya setuju untuk mengunjungi keluarganya. Meski tidak yakin bagaimana menghadapi sang Ayah, Reno memutuskan untuk membuang jauh dendamnya. Bagaimanapun ia tidak dapat memungkiri bahwa pria itu adalah Ayahnya, bagaimanpun sifatnya.
Setibanya di kediaman orangtua Reno, mereka disambut oleh sang Ibu yang memeluk istri dan anak-anak Reno dengan pelukan hangat. Ia juga memberikan pelukan yang sama hangatnya kepada Reno. Mendapat sambutan itu, Reno pun tak mampu menahan airmatanya.
Bukan kehangatan sang Ibu yang membuatnya menangis, tapi melihat wajah sang Ibu yang menua dengan kerutan di wajahnya membuat Reno merasa bersalah telah meninggalkan orangtuanya begitu lama. Dipandangnya sekeliling rumah, matanya bergerak liar mencari sosok pria yang mungkin tidak segagah dulu lagi.
Tak berapa lama, muncullah sesosok pria tua yang wajahnya sudah mulai kempot dan rambutnya sudah beruban. Sambil berjalan perlahan-lahan menuruni anak tangga, Ia melemparkan senyum kepada para cucunya dan segera memeluk mereka begitu ia sampai.
Untuk sesaat, Reno bertanya-tanya di dalam hati mengapa sang Ayah begitu yakin bahwa kedua bocah itu adalah cucunya. Namun pertanyaan tersebut hilang dengan sendirinya saat sang Ayah mendekat padanya dan memeluk ia dengan erat meskipun pegangannya tidak lagi seerat dulu.
Meski tidak berkata apa-apa, air mata Reno pun benar-benar tidak terbendung. Ia menangis terseduh seolah-olah tak perduli kedua jagoannya menyaksikannya menangis seperti anak kecil. Dalam fikirannya, dia memang masih anak kecil. Anak kecil sang Ayah yang kini sudah menua.
Berbeda dengan Reno, sang Ayah sepertinya berusaha sekuat mungkin untuk menahan airmatanya. Ia menepuk lembut bahu Reno dan meminta sang istri untuk menyiapkan makanan.
Selagi istri dan Ibunya sibuk di dapur, Reno mencoba membuka sebuah kamar yang tidak asing baginya. Dipadangnya lekat-lekat kamar yang dulu pernah menjadi miliknya itu. Kamar itu sama sekali tidak berubah. Semua barang-barang yang ia masih tersusun rapi di sana.
Merasa puas bernostalgia dengan kamarnya, Reno ditarik oleh putranya yang berusia lima tahun. Dari cara bocah itu menarik tangannya, Reno seolah melihat dirinya sendiri. Ia ingat betul ia pernah melakukan hal yag serupa kepada Ayahnya.
Bocah itu menarik Reno dan mengajaknya ke halaman belakang untuk melihat danau yang berada di belakang rumah. Untuk sesaat, Reno merasa kembali ke masa lalu dimana ia dan sang Ayah berjalan ke tepi danau. Hanya saja. kali ini ia berada di posisi sang Ayah.
Sambil berjalan menuntun anaknya, Reno tertegun melihat kemiripan antara dia dan anaknya. Bocah itu bahan mulai bertingkah sama persis seperti ia dulu. Ia mulai bercerita tentang hobinya dan ketertarikannya akan danau yang sedang mereka lihat.
Seolah ingin benar-benar mengulang masa-masa itu, Reno pun akhirnya bertanya kepada anaknya mengenai cita-cita sang anak. Ia menanyakan pertanyaan yang persis seperti yang diajukan oleh Ayahnya beberapa tahun yang lalu. Entah mengapa, Reno merasa penasaran dengan jawaban yang akan diberikan sang anak.
Saat mendengar jawaban sang anak, Reno pun merasa terkejut. Ia begitu terkejut sampai-sampai tidak dapat menahan airmatanya. Reno pun menggendong sang anak sambil menangis, berjalan menuju rumah dan segera mencari Ayahnya.
Sambil terus menangis seperti anak kecil, Reno berjalan menuju ke kamar sang Ayah. Melihat tingkah Reno, sang istri berusaha menenangkan anaknya yang juga ikut menangis. Di tempat yang sama, sang Ibu mencoba menjelaskan apa yang mungkin terjadi.
Tangisan Reno pun semakin menjadi saat ia tiba di kamar sang Ayah. Ia buka pintu kamar tanpa mengetuk dan segera dipeluknya sang Ayah yang tengah tertidur. Pria itu terlihat tertidur sambil memeluk sebuah album foto keluarga mereka.
Sang Ayah terkejut mendapati Reno menangis sambil memeluknya. Meski tidak mengatakan apa-apa, sang Ayah tahu bahwa Reno mungkin telah menyadari sesuatu. Sesuatu yang selama ini telah ia coba untuk jelaskan kepada Reno. Ia pun membiarkan Reno menangis di dekapannya.
Ketika Reno berusia lima tahun, ia sangat dekat dengan sang Ayah. Mereka melakukan banyak hal bersama dan sering menghabiskan waktu sore hari di tepi danau. Terkadang sambil memancing dan bercerita banya hal.
Suatu hari, sang Ayah bertanya pada Reno tentang cita-citanya. Dengan mantap Reno mengatakan bahwa ia ingin menjadi seorang guru. Sang Ayah lantas bertanya apakah Reno tidak tertarik menjadi dokter? Reno kemudian berubah fikiran dan mengatakan bahwa ia ingin menjadi dokter.
Untuk mencapai cita-cita itu, Reno belajar dengan keras dan sang Ayah selalu membantunya dengan membelikan ia buku tentang kedokteran. Sang Ayah bahkan membuatkan perpustakaan di rumah untuk mengumpulkan koleksi buku yang dipelajari oleh Reno.
Saat Reno berumur 12 tahun, Ia dan abangnya mengalami kecelakaan sepulang dari pasar. Saat itu keduanya terluka parah. Mereka segera dilarikan ke rumah sakit dan dokter dengan segera menangani mereka. Dokter yang menagani mereka tidak lain adalah sang Ayah sendiri. Namun sayang, abang Reno tidak terselamatkan dan Reno mengalami hilang ingatan.
Karena gagal menyelamatkan nyawa sang anak, Ayah Reno merasa frustasi dan kehilangan kepercayaan diri. Seteleh berjuang melewati masa-masa sulit itu, sang Ayah pun memutuskan untuk mengubah segalanya. Ia berhenti dari profesinya dan memutuskan untuk berkebun.
Ia membakar semua buku tentang kedokteran yang ia punya di perpustakaan dan menggantinya dengan buku-buku tentang pendidikan guru. Ia membimbing Reno untuk menjadi guru dan selalu mengatakan bahwa cita-cita Reno adalah menjadi seorang guru. Bukan karena tak ingin Reno menjadi dokter, hanya tak ingin Reno merasakan perasaan yang sama.
0 comments :
Post a Comment