Teknokiper.com - Cerpen horor tentang orang Bunian. Sekitar tahun 2002 tepatnya setelah aku menyelesaikan sekolah dasar, orangtuaku memutuskan untuk pindah ke sebuah kampung yang masih satu kabupaten dengan tempat tinggal kami sebelumnya. Dari segi jarak, kampung itu tidak terlalu jauh dari kota tetapi karena jalannya tidak begitu bagus, perjalanan ke sana jadi terasa lebih lama. Kampung itu terletak di pedalaman dan berdampingan dengan sungai Barumun. Rumah di sana masih sangat jarang-jarang dan begitu malam tiba, kampung itu begitu sepi seperti kuburan. Mayoritas penduduknya kala itu masih menggunakan sepeda sebagai alat transportasi utama. Karena terbiasa tinggal di dekat kota dan sehari-harinya menyaksikan jalan raya, aku merasa kesulitan untuk beradaptasi di perkampungan yang jalannya belum diaspal. Belum lagi harus berhadapan dengan air yang mengandung karat sehingga harus disaring terlebih dahulu sebelum digunakan.
Untuk beberapa hari aku merasa tersiksa berada di tempat tinggal yang baru. Tantangan utamanya sebenarnya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang berbeda. Untuk urusan pergaulan, tidak butuh waktu lama aku sudah bisa berbaur dengan teman-teman baru.
Kami tinggal di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari papan. Di samping kiri dan kanan rumah tidak ada rumah lain karena jarak antar rumah cukup jauh. Jika malam tiba, aku hanya duduk di ruang tamu sambil menonton televisi karena tidak ada teman bermain di malam hari.
Waktu itu kebetulan memasuki musim penghujan. Jika hujan deras, jalanan akan menjadi sangat licin dan sangat sulit dilalui kendaraan. Untuk berjalan saja lebih baik tidak menggunakan alas kaki karena akan sangat sulit berjalan di tanah yang lengket.
Jika malam tiba, maka akan terdengar suara kodok yang saling bersahutan seolah-olah mereka saling bernyanyi membentuk paduan suara. Situasi itu benar-benar membuatku tidak nyaman karena tidak terbiasa. Apalagi, seringkali suara kodok itu terdengar seperti memanggil-manggil namaku.
Butuh waktu setidaknya satu bulan untuk terbiasa. Setelah memiliki banyak teman dan mengikuti pengajian, barulah aku mulai terbiasa dengan lingkungan baru itu dan mencoba untuk menikmati setiap perbedaan yang kurasakan.
Pada masa itu, mayoritas penduduk di sana bekerja sebagai petani. Sebagian besar bercocok tanam di sawah sebagian lagi mengolah lahan kosong. Ayah kebetulan memiliki sebidang tanah di area persawahan sehingga Ayah juga memutuskan untuk mencoba bercocok tanam.
Aktivitas bercocok tanam di sawah dan pemandangannya yang hijau merupakan satu-satunya hal yang membuatku jatuh cinta dengan kampung itu. Melihat tanaman padi dan suara orang mengusir burung benar-benar berkesan bagiku.
Waktu itu, area persawahan masih berbatasan dengan hutan kampung. Sejauh mata memandang masih dapat terlihat pepohonan lebat. Pemandangan seperti itu tentu saja tidak pernah kutemukan sebelumnya. Sambil duduk melamun aku biasanya bertanya dalam hati ada apa di dalam hutan itu.
Jika sudah melamun terlalu lama, Ayah biasanya akan menghampiriku dan memintaku untuk membantunya. Tujuan hanya agar aku tidak termenung dan kosong. Ayah juga terus mengingatkan aku untuk tidak termenung untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Sambil membantu Ayah mencabut rumput, aku akhirnya bertanya padanya tentang apa yang ada di dalam hutan itu. Sambil tetap bekerja Ayah mengatakan bahwa di hutan itu kemungkinan ada binatang buas dan Ayah langsung mengingatkanku untuk tidak pergi ke hutan.
"Tapi, Adi katanya sering mancing ke sana ya?", ucapku sambil menunjuk ke arah hutan.
"Ya, dia kan mancing sama Ayahnya. Lagian kan mereka sudah lama tinggal di sini jadi sudah tahu seluk beluk hutan itu."
"Aku boleh gak ikut mereka kapan-kapan?"
"Ngapain? Kamu kan gak suka mancing. Emangnya kamu tahan jalan sejauh itu? Lagian itu kan hutan gak ada jalannya. Jalannya ya dari semak-semak itu lah pasti gatal".
"Tapi boleh kan? Aku penasaran. Kan perginya rame-rame sama Ayahnya Adi juga", rayuku.
Mungkin karena sudah capek Ayah pun mengiyakan permintaanku. Aku pun tersenyum ke arahnya sambil menyelesaikan pekerjaanku agar bisa pulang lebih awal dan menceritakan rencanaku kepada Adi.
Sepulangnya dari sawah aku langsung berkunjung ke rumah Adi. Sore itu dia terlihat tengah sibuk mengangon kambin. Aku pun menceritakan rencanaku untuk ikut mancing dengan mereka ke hutan. Dia pun mengiyakan dengan antusias.
Dua hari kemudian, sekitar pukul 10 pagi Adi datang ke rumah dan mengajakku untuk memancing. Aku pun langsung pamit ke Ibu sambil menyiapkan kebutuhan yang harus kubawa. Tidak ada alat pancing, hanya menyiapkan air minum dan pakaian panjang agar tidak gatal.
"Kamu gak bawa pancing?", tanya Adi.
"Gak. Aku gak pinter mancing. Aku ikut-ikut aja ya. Cuma penasaran pengen lihat hutan itu kayak apa dalamnya".
"Owala. Kirain pengen mancing", sambung Adi sambil geleng kepala.
Aku hanya tersenyum dan segera menarik tangan Adi untuk pergi. Kami pun segera berjalan ke rumah Adi. Di sana sudah ada Ayah Adi yang sedang menyiapkan beberapa pancing dan peralatan lainnya.
"Kok Ayahmu bawa senter Di?", bisikku kepada Adi saat melihat sebuah senter kepala berada di atas topi Ayah Adi.
"Buat jaga-jaga manatau kemaleman".
Tidak berapa lama menunggu, kami akhirnya berangkat memancing. Di perjalanan, kami bertemu dengan Ayahku. Ia lantas mengingatkanku untuk tidak macam-macam saat di hutan. Ia juga mengingatkan untuk tidak buang air kecil sembarangan.
Setelah berjalan kira-kira setengah jam, kami pun tiba di ujung persawahan dan semakin dekat ke hutan. Kegiatan memancing dimulai dari titik itu. Ayah Adi segera memasang pancingnya begitu juga Adi. Aku berjalan di sebelah Adi sambil terus memperhatikan semak belukar di hadapanku.
Beberapa menit berikutnya, kami terus berjalan semakin ke dalam memasuki hutan. Seperti yang dijelaskan Ayah, tidak ada jalan setapak terlihat di sana. Kami berjalan melalui semak belukar dan membuka jalan kami sendiri.
Paham kalau aku belum terbiasa, Adi pun selalu membantu membukakan jalan untukku. Dia memintaku untuk berjalan di belakangnya sehingga aku bisa mengikuti jejak kakinya. Tidak jauh di depan kami, Ayah Adi tengah asik dengan pancingannya.
"Gimana? udah lihat kan isinya?", tanya Adi sambil tersenyum ke arahku.
"Udah. Semak ya? banyak nyamuk lagi".
Adi tertawa mendengar jawabanku. Ia juga segera mengeluarkan autan dari kantungnya dan menyuruhku untuk memakainya. Tanpa buang waktu langsung saja kupakai autan itu sampai habis. Aku tidak berfikir kalau Adi akan membutuhkannya nanti.
"Tenang aja, yang semak cuma di sini kok. Ini kan masih perbatasan. Entar agak ke dalam udah gak semak kok. Cuma ya gitu, banyak lubang dan parit. Jalannya juga harus hati-hati karena banyak akar pohon".
Aku tidak berbicara lagi. Aku terus berjalan mengikuti Adi dan sesekali mengingatkannya bahwa Ayahnya sudah berjalan cukup jauh di depan kami. Adi tersenyum dan sepertinya dia tahu bahwa aku mulai cemas kalau-kalau terpisah dari Ayahnya.
"Udah tenang aja. Aku kan udah serijng ke sini jadi gak akan tersesat", jawab Adi begitu yakin.
Jujur saja aku tidak begitu cemas karena aku percaya dengan ucapan Adi. Lagipula dia memang sudah sering memancing di sana jadi tidak mungkin tersesat.
Adi memancing dari satu titik ke titik lainnya dan terus berjalan ke depan. Sesekali kami harus melompat karena jalan yang dilalui berlubang atau terhalang oleh akar pohon. Hutan itu memang termasuk rawah jadi banyak sekali cekungan yang berisi air dan sebagian besar tanahnya lembek.
Sejauh itu Adi sudah mendapat beberapa ekor ikan dan jiregennya sudah mulai berat. Beberapa kali Adi memamerkan hasil pancingannya kepadaku dan aku jujur saja merasa kagum sekaligus senang karena itu merupakan pengalamn pertamaku.
Saat Adi kemabli melempar pancingnya, aku tersadar bahwa Ayah Adi sudah tidak terlihat. Aku lantas mengingatkan Adi dan ia sekali lagi mencoba menenangkanku.
"Udah tenang aja. Entar juga ketemu kok. Lagian kamu takut apa sih di hutan ini? Gak ada apa-apa kok. Cuma pohon aja".
"Entar kalau ada hewan buas gimana?"
"Hewan buas apa? Gak ada. Paling ular sama babi doang. Udah yang penting jangan jauh-jauh".
"Tapi kamu yakin kan gak akan tersesat? Kita udah jalan jauh loh ini".
"Yakin! Takut banget sih".
Aku tidak lagi membalas ucapannya karena tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku mencoba menahannya beberapa kali tapi gerak-gerikku itu ternyata terbaca oleh Adi.
"Udah kalau mau kencing, kencing aja di situ jangan ditahan-tahan. Ntar sakit baru tahu".
"Dimana?", tanyaku sambil nyengir menahan kencing.
"Di mana aja terserah. Itu tuh di situ", Adi menunjukkan sebuah pohon yang rimbun di belakang kami.
"Yakin di situ?"
"Yakinlah! emangnya kenapa. Udah. Apa perlu kukawani?".
Tidak berniat berdebat lagi aku pun segera berjalan ke arah pohon itu. Sebelum buang air kecil, aku memperhatikan pohon itu lekat-lekat dan teringat pesan Ayah untuk tidak buang air kecil sembarangan. Setelah meminta izin kau akhirnya kencing di bali pohon itu.
Begitu selesai dan merasa lega, aku berbalik ke arah parit tempat Adi memancing. Dalam seketika aku menjadi sangat cemas karena Adi tidak ada di tempat sebelumnya. Segera aku mengamati sekeliling untuk mencari keberadaan Adi.
Saat aku sadar Adi tidak lagi ada di sana aku mulai berteriak memanggil namanya. Sambil berjalan semakin ke dalam aku terus memanggil Adi tapi tidak juga menerima jawaban. Tidak berani bergerak lebih jauh aku berhenti dan mencoba mengamati sekelilingku.
Untuk sesaat aku mencoba untuk tenang dan berfikir bahwa Adi mungkin mengerjaiku. Aku lantas mencoba berbicara dengan tegas dan meminta Adi untuk keluar dari persembunyiannya. Tapi setelah kucoba berkali-kali, Adi tidak juga keluar.
Aku kemudian memutuskan untuk berputar dan kembali ke posisi awal di dekat pohon dimana aku buang air kecil. Kupandangi lagi pohon itu dan parit yang berada tak jauh di depannya. Setelah kuperhatikan dengan seksama, aku pun tersadar bahwa tempat itu benar-benar beda dengan tempat terakhir kali aku berbincang dengan Adi.
Pohonnya memang sepertinya sama tapi parit dan lingkungan sekelilingnya benar-benar beda. Aku mencoba mendekati parit dan mencari sebatang kayu yang sebelumnya kutancapkan sebagai tanda tapi tidak menemukan batang itu. Aku juga mencari wadah air minum yang kutinggalkan di dekat parit tapi juga tidak ada.
Kupastikan lagi di sekitar tempat itu, sama sekali tidak terlihat jejak kaki atau bekas semak yang tumbang karena dipijak. Padahal seharusnya ada semacam jejak karena setiap berjalan Adi sesekali menumbang pohon kecil dan menginjaknya agar membuka jalan.
Aku yang sadar telah tersesat akhirnya mulai panik. Jantungku berdegup kencang dan dengan suara gemetar aku mencoba memanggil Adi atau Ayahnya. Tidak berani berjalan lebih jauh ke depan, aku akhirnya memutuskan untuk berjalan ke belakang setidaknya aku berfikir itu adalah jalan untuk kembali ke perbatasan.
Meskipun tidak yakin itu adalah arah yang benar aku tetap terus berjalan lurus sambil memanggil Adi. Mencoba untuk tidak panik aku terus berjalan sambil mengucapkan doa yang bisa kubaca kala itu. Tapi belum selesai doa tersebut kubaca aku sudah kembali panik dan kembali berteriak memanggil Adi.
Di antara rasa panik dan cemas aku terus berjalan dan mencoba menambah kecepatanku. Saat itu aku mulai berfikir bahwa Adi dan Ayahnya mungkin sudah berjalan cukup jauh ke dapan dan aku sudah makin jauh dari mereka. oleh karena itu satu-satunya harapanku adalah berjalan lebih cepat agar tiba ke perbatasan.
Semakin cepat aku berjalan semakin cepat pula degup jantungku. Keringat mulai membanjiri tubuhku dan sebagian tubuhku sudah mulau luka akibat terkena batang tumbuhan, akar, atau duri tanaman yang kulalui. Tapi seolah tidak merasakan sakit aku terus berjalan semakin cepat dan semakin cepat.
Aku terus berjalan dan sesekali berlari tanpa memperhatikan sekelilingku karena rasa takut yang berlebihan. Pandanganku mulai terbatas karena tiba-tiba langit menjadi mendung dan gelap. Saat rasa letih mengalahkanku, aku kahirnya tersadar bahwa aku sudah berada di perbatasan antara hutan dan sawah.
Dengan nafas terengah-engah aku behenti dan menjatuhkan tubuhku ke sebuah batang pohon yang agak miring. Untuk sesaat aku berhasil menyunginkan senyum dan mencoba mengelap keringat yang bercucuran di wajahku.
Kuamati sekeliling dan aku begitu yakin bahwa area luas di hadapanku adalah persawahan, tempat yang hampir setiap hari kudatangi. Hari sepertinya sudah hampir malam sehingga tidak lagi terdengar suara orang mengusir burung dan persawahan terlihat sudah sepi.
Setelah merasa cukup kuat, aku memutuskan untuk kembali berjalan. Kali ini aku berjalan dengan lebih santai karena merasa sudah berada di tempat yang aman dan tidak akan tersesat. Perasaanku semakin tenang karena samar-samar kudengar suara beberapa orang yang sedang mengobrol.
Aku terus berjalan mengikuti jalan setapak sambil sesekali memperhatikan sekelilingku mencoba untuk mengenali tempat itu. Tapi semakin jauh aku berjalan semakin aku tersadar bahwa tempat itu sama sekali tidak kukenali.
Aku sudah berjalan cukup jauh melewati beberapa petak tanaman padi dan tanaman singkon tetapi tidak ada lokasi yang kukenali sama sekali. Meski sadar bahwa aku tidak berada di daerah persawahan kampungku aku tetap merasa tenang karena setidaknya aku berada di sebuah kampung.
Tidak jauh dari tempatku berjalan, suara orang mengobrol itu semakin kuat dan terdengar semakin dekat. Aku lantas kembali berjalan sambil mencari sumber suara itu. Suara itupun semakin dekat dan aku begitu yakin akan menemukan orang-orang itu.
Saat aku yakin sudah semakin dekat, suara itu perlahan-lahan justru menjauh. Semakin lama semakin jauh dan tiba-tiba menghilang. Aku lantas mencoba berteriak memanggil mereka berharap akan ada seseorang yang mendengar suaraku. Tapi saat itu, persawahan itu menjadi sangat sepi dan hanya suaraku yang dapat kudengar.
Dalam kondisi putus asa aku terus berjalan sementara malam sudah tiba. Suara jangkrik sudah mulai terdengar dan binatang-binatang kecil mulai berterbangan di sekelilingku. Aku berjalan merayap-rayap karena tidak ada cahaya sama sekali. Malam itu sangat gelap dan dalam sesaat aku tidak bisa melihat apa-apa lagi layaknya orang buta.
Tak lama kemudian aku terjatuh terjerembab ke atas tanah berlumpur karena sesuatu yang keras tersandung kakiku. Aku yang sudah lemas akhirnya tergeletak pasrah tanpa berfikir untuk bangkit kembali. Dalam beberapa detik kunikmati sensasi basah dan gatal yang menyerang wajahku dan kesadaran pun hilang.
Keseokan harinya, saat aku tersadar, aku sudah berada di atas tempat tidurku. Di sampingku terlihat Ayah dan Ibu degan wajah tegang mencoba untuk mengajakku berkomunikasi. Tak jauh dari tempat tidur kulihat Adi tersenyum ke arahku. Tak lama setelah itu beberapa orangtua juga terlihat hadir untuk memastikan kondisiku.
Saat aku teringat peristiwa yang aku alami aku pun menangis memeluk Ibu. Dengan suara terbata-bata aku menjelaskan apa yang terjadi. Salah seorang kakek yang dituakan di kampung itu pun kemudian menjelaskan bahwa aku telah disesatkan oleh orang bunian dan sawah yang kulihat itu adalah pekampungan orang bunian.
Menurut cerita Adi, Ia dan Ayahnya sangat panik saat sadar aku menghilang. Awalnya Adi heran karena aku tidak kunjung kembali dari buang air kecil. Setelah memastikan aku tidak ada, Adi segera memanggil Ayahnya dan mulai mencariku.
Hampir empat jam Adi dan Ayahnya mencariku di sekitar daerah itu. Tapi karena hari sudah gelap dan aku tidak kunjung ditemukan, Ayah Adi memutuskan untuk pulang dan mmeinta bantuan warga. Dengan bantuan beberapa orangtua, aku akhirnya ditemukan tergeletak di bawah sebuah pohon tidak jauh dari pohon tempat aku buang air kecil.
Untuk beberapa hari aku merasa tersiksa berada di tempat tinggal yang baru. Tantangan utamanya sebenarnya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang berbeda. Untuk urusan pergaulan, tidak butuh waktu lama aku sudah bisa berbaur dengan teman-teman baru.
Kami tinggal di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari papan. Di samping kiri dan kanan rumah tidak ada rumah lain karena jarak antar rumah cukup jauh. Jika malam tiba, aku hanya duduk di ruang tamu sambil menonton televisi karena tidak ada teman bermain di malam hari.
Waktu itu kebetulan memasuki musim penghujan. Jika hujan deras, jalanan akan menjadi sangat licin dan sangat sulit dilalui kendaraan. Untuk berjalan saja lebih baik tidak menggunakan alas kaki karena akan sangat sulit berjalan di tanah yang lengket.
Jika malam tiba, maka akan terdengar suara kodok yang saling bersahutan seolah-olah mereka saling bernyanyi membentuk paduan suara. Situasi itu benar-benar membuatku tidak nyaman karena tidak terbiasa. Apalagi, seringkali suara kodok itu terdengar seperti memanggil-manggil namaku.
Butuh waktu setidaknya satu bulan untuk terbiasa. Setelah memiliki banyak teman dan mengikuti pengajian, barulah aku mulai terbiasa dengan lingkungan baru itu dan mencoba untuk menikmati setiap perbedaan yang kurasakan.
Pada masa itu, mayoritas penduduk di sana bekerja sebagai petani. Sebagian besar bercocok tanam di sawah sebagian lagi mengolah lahan kosong. Ayah kebetulan memiliki sebidang tanah di area persawahan sehingga Ayah juga memutuskan untuk mencoba bercocok tanam.
Aktivitas bercocok tanam di sawah dan pemandangannya yang hijau merupakan satu-satunya hal yang membuatku jatuh cinta dengan kampung itu. Melihat tanaman padi dan suara orang mengusir burung benar-benar berkesan bagiku.
Waktu itu, area persawahan masih berbatasan dengan hutan kampung. Sejauh mata memandang masih dapat terlihat pepohonan lebat. Pemandangan seperti itu tentu saja tidak pernah kutemukan sebelumnya. Sambil duduk melamun aku biasanya bertanya dalam hati ada apa di dalam hutan itu.
Jika sudah melamun terlalu lama, Ayah biasanya akan menghampiriku dan memintaku untuk membantunya. Tujuan hanya agar aku tidak termenung dan kosong. Ayah juga terus mengingatkan aku untuk tidak termenung untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Sambil membantu Ayah mencabut rumput, aku akhirnya bertanya padanya tentang apa yang ada di dalam hutan itu. Sambil tetap bekerja Ayah mengatakan bahwa di hutan itu kemungkinan ada binatang buas dan Ayah langsung mengingatkanku untuk tidak pergi ke hutan.
"Tapi, Adi katanya sering mancing ke sana ya?", ucapku sambil menunjuk ke arah hutan.
"Ya, dia kan mancing sama Ayahnya. Lagian kan mereka sudah lama tinggal di sini jadi sudah tahu seluk beluk hutan itu."
"Aku boleh gak ikut mereka kapan-kapan?"
"Ngapain? Kamu kan gak suka mancing. Emangnya kamu tahan jalan sejauh itu? Lagian itu kan hutan gak ada jalannya. Jalannya ya dari semak-semak itu lah pasti gatal".
"Tapi boleh kan? Aku penasaran. Kan perginya rame-rame sama Ayahnya Adi juga", rayuku.
Mungkin karena sudah capek Ayah pun mengiyakan permintaanku. Aku pun tersenyum ke arahnya sambil menyelesaikan pekerjaanku agar bisa pulang lebih awal dan menceritakan rencanaku kepada Adi.
Sepulangnya dari sawah aku langsung berkunjung ke rumah Adi. Sore itu dia terlihat tengah sibuk mengangon kambin. Aku pun menceritakan rencanaku untuk ikut mancing dengan mereka ke hutan. Dia pun mengiyakan dengan antusias.
Dua hari kemudian, sekitar pukul 10 pagi Adi datang ke rumah dan mengajakku untuk memancing. Aku pun langsung pamit ke Ibu sambil menyiapkan kebutuhan yang harus kubawa. Tidak ada alat pancing, hanya menyiapkan air minum dan pakaian panjang agar tidak gatal.
"Kamu gak bawa pancing?", tanya Adi.
"Gak. Aku gak pinter mancing. Aku ikut-ikut aja ya. Cuma penasaran pengen lihat hutan itu kayak apa dalamnya".
"Owala. Kirain pengen mancing", sambung Adi sambil geleng kepala.
Aku hanya tersenyum dan segera menarik tangan Adi untuk pergi. Kami pun segera berjalan ke rumah Adi. Di sana sudah ada Ayah Adi yang sedang menyiapkan beberapa pancing dan peralatan lainnya.
"Kok Ayahmu bawa senter Di?", bisikku kepada Adi saat melihat sebuah senter kepala berada di atas topi Ayah Adi.
"Buat jaga-jaga manatau kemaleman".
Tidak berapa lama menunggu, kami akhirnya berangkat memancing. Di perjalanan, kami bertemu dengan Ayahku. Ia lantas mengingatkanku untuk tidak macam-macam saat di hutan. Ia juga mengingatkan untuk tidak buang air kecil sembarangan.
Setelah berjalan kira-kira setengah jam, kami pun tiba di ujung persawahan dan semakin dekat ke hutan. Kegiatan memancing dimulai dari titik itu. Ayah Adi segera memasang pancingnya begitu juga Adi. Aku berjalan di sebelah Adi sambil terus memperhatikan semak belukar di hadapanku.
Beberapa menit berikutnya, kami terus berjalan semakin ke dalam memasuki hutan. Seperti yang dijelaskan Ayah, tidak ada jalan setapak terlihat di sana. Kami berjalan melalui semak belukar dan membuka jalan kami sendiri.
Paham kalau aku belum terbiasa, Adi pun selalu membantu membukakan jalan untukku. Dia memintaku untuk berjalan di belakangnya sehingga aku bisa mengikuti jejak kakinya. Tidak jauh di depan kami, Ayah Adi tengah asik dengan pancingannya.
"Gimana? udah lihat kan isinya?", tanya Adi sambil tersenyum ke arahku.
"Udah. Semak ya? banyak nyamuk lagi".
Adi tertawa mendengar jawabanku. Ia juga segera mengeluarkan autan dari kantungnya dan menyuruhku untuk memakainya. Tanpa buang waktu langsung saja kupakai autan itu sampai habis. Aku tidak berfikir kalau Adi akan membutuhkannya nanti.
"Tenang aja, yang semak cuma di sini kok. Ini kan masih perbatasan. Entar agak ke dalam udah gak semak kok. Cuma ya gitu, banyak lubang dan parit. Jalannya juga harus hati-hati karena banyak akar pohon".
Aku tidak berbicara lagi. Aku terus berjalan mengikuti Adi dan sesekali mengingatkannya bahwa Ayahnya sudah berjalan cukup jauh di depan kami. Adi tersenyum dan sepertinya dia tahu bahwa aku mulai cemas kalau-kalau terpisah dari Ayahnya.
"Udah tenang aja. Aku kan udah serijng ke sini jadi gak akan tersesat", jawab Adi begitu yakin.
Jujur saja aku tidak begitu cemas karena aku percaya dengan ucapan Adi. Lagipula dia memang sudah sering memancing di sana jadi tidak mungkin tersesat.
Adi memancing dari satu titik ke titik lainnya dan terus berjalan ke depan. Sesekali kami harus melompat karena jalan yang dilalui berlubang atau terhalang oleh akar pohon. Hutan itu memang termasuk rawah jadi banyak sekali cekungan yang berisi air dan sebagian besar tanahnya lembek.
Sejauh itu Adi sudah mendapat beberapa ekor ikan dan jiregennya sudah mulai berat. Beberapa kali Adi memamerkan hasil pancingannya kepadaku dan aku jujur saja merasa kagum sekaligus senang karena itu merupakan pengalamn pertamaku.
Saat Adi kemabli melempar pancingnya, aku tersadar bahwa Ayah Adi sudah tidak terlihat. Aku lantas mengingatkan Adi dan ia sekali lagi mencoba menenangkanku.
"Udah tenang aja. Entar juga ketemu kok. Lagian kamu takut apa sih di hutan ini? Gak ada apa-apa kok. Cuma pohon aja".
"Entar kalau ada hewan buas gimana?"
"Hewan buas apa? Gak ada. Paling ular sama babi doang. Udah yang penting jangan jauh-jauh".
"Tapi kamu yakin kan gak akan tersesat? Kita udah jalan jauh loh ini".
"Yakin! Takut banget sih".
Aku tidak lagi membalas ucapannya karena tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil. Aku mencoba menahannya beberapa kali tapi gerak-gerikku itu ternyata terbaca oleh Adi.
"Udah kalau mau kencing, kencing aja di situ jangan ditahan-tahan. Ntar sakit baru tahu".
"Dimana?", tanyaku sambil nyengir menahan kencing.
"Di mana aja terserah. Itu tuh di situ", Adi menunjukkan sebuah pohon yang rimbun di belakang kami.
"Yakin di situ?"
"Yakinlah! emangnya kenapa. Udah. Apa perlu kukawani?".
Tidak berniat berdebat lagi aku pun segera berjalan ke arah pohon itu. Sebelum buang air kecil, aku memperhatikan pohon itu lekat-lekat dan teringat pesan Ayah untuk tidak buang air kecil sembarangan. Setelah meminta izin kau akhirnya kencing di bali pohon itu.
Begitu selesai dan merasa lega, aku berbalik ke arah parit tempat Adi memancing. Dalam seketika aku menjadi sangat cemas karena Adi tidak ada di tempat sebelumnya. Segera aku mengamati sekeliling untuk mencari keberadaan Adi.
Saat aku sadar Adi tidak lagi ada di sana aku mulai berteriak memanggil namanya. Sambil berjalan semakin ke dalam aku terus memanggil Adi tapi tidak juga menerima jawaban. Tidak berani bergerak lebih jauh aku berhenti dan mencoba mengamati sekelilingku.
Untuk sesaat aku mencoba untuk tenang dan berfikir bahwa Adi mungkin mengerjaiku. Aku lantas mencoba berbicara dengan tegas dan meminta Adi untuk keluar dari persembunyiannya. Tapi setelah kucoba berkali-kali, Adi tidak juga keluar.
Aku kemudian memutuskan untuk berputar dan kembali ke posisi awal di dekat pohon dimana aku buang air kecil. Kupandangi lagi pohon itu dan parit yang berada tak jauh di depannya. Setelah kuperhatikan dengan seksama, aku pun tersadar bahwa tempat itu benar-benar beda dengan tempat terakhir kali aku berbincang dengan Adi.
Pohonnya memang sepertinya sama tapi parit dan lingkungan sekelilingnya benar-benar beda. Aku mencoba mendekati parit dan mencari sebatang kayu yang sebelumnya kutancapkan sebagai tanda tapi tidak menemukan batang itu. Aku juga mencari wadah air minum yang kutinggalkan di dekat parit tapi juga tidak ada.
Kupastikan lagi di sekitar tempat itu, sama sekali tidak terlihat jejak kaki atau bekas semak yang tumbang karena dipijak. Padahal seharusnya ada semacam jejak karena setiap berjalan Adi sesekali menumbang pohon kecil dan menginjaknya agar membuka jalan.
Aku yang sadar telah tersesat akhirnya mulai panik. Jantungku berdegup kencang dan dengan suara gemetar aku mencoba memanggil Adi atau Ayahnya. Tidak berani berjalan lebih jauh ke depan, aku akhirnya memutuskan untuk berjalan ke belakang setidaknya aku berfikir itu adalah jalan untuk kembali ke perbatasan.
Meskipun tidak yakin itu adalah arah yang benar aku tetap terus berjalan lurus sambil memanggil Adi. Mencoba untuk tidak panik aku terus berjalan sambil mengucapkan doa yang bisa kubaca kala itu. Tapi belum selesai doa tersebut kubaca aku sudah kembali panik dan kembali berteriak memanggil Adi.
Di antara rasa panik dan cemas aku terus berjalan dan mencoba menambah kecepatanku. Saat itu aku mulai berfikir bahwa Adi dan Ayahnya mungkin sudah berjalan cukup jauh ke dapan dan aku sudah makin jauh dari mereka. oleh karena itu satu-satunya harapanku adalah berjalan lebih cepat agar tiba ke perbatasan.
Semakin cepat aku berjalan semakin cepat pula degup jantungku. Keringat mulai membanjiri tubuhku dan sebagian tubuhku sudah mulau luka akibat terkena batang tumbuhan, akar, atau duri tanaman yang kulalui. Tapi seolah tidak merasakan sakit aku terus berjalan semakin cepat dan semakin cepat.
Aku terus berjalan dan sesekali berlari tanpa memperhatikan sekelilingku karena rasa takut yang berlebihan. Pandanganku mulai terbatas karena tiba-tiba langit menjadi mendung dan gelap. Saat rasa letih mengalahkanku, aku kahirnya tersadar bahwa aku sudah berada di perbatasan antara hutan dan sawah.
Dengan nafas terengah-engah aku behenti dan menjatuhkan tubuhku ke sebuah batang pohon yang agak miring. Untuk sesaat aku berhasil menyunginkan senyum dan mencoba mengelap keringat yang bercucuran di wajahku.
Kuamati sekeliling dan aku begitu yakin bahwa area luas di hadapanku adalah persawahan, tempat yang hampir setiap hari kudatangi. Hari sepertinya sudah hampir malam sehingga tidak lagi terdengar suara orang mengusir burung dan persawahan terlihat sudah sepi.
Setelah merasa cukup kuat, aku memutuskan untuk kembali berjalan. Kali ini aku berjalan dengan lebih santai karena merasa sudah berada di tempat yang aman dan tidak akan tersesat. Perasaanku semakin tenang karena samar-samar kudengar suara beberapa orang yang sedang mengobrol.
Aku terus berjalan mengikuti jalan setapak sambil sesekali memperhatikan sekelilingku mencoba untuk mengenali tempat itu. Tapi semakin jauh aku berjalan semakin aku tersadar bahwa tempat itu sama sekali tidak kukenali.
Aku sudah berjalan cukup jauh melewati beberapa petak tanaman padi dan tanaman singkon tetapi tidak ada lokasi yang kukenali sama sekali. Meski sadar bahwa aku tidak berada di daerah persawahan kampungku aku tetap merasa tenang karena setidaknya aku berada di sebuah kampung.
Tidak jauh dari tempatku berjalan, suara orang mengobrol itu semakin kuat dan terdengar semakin dekat. Aku lantas kembali berjalan sambil mencari sumber suara itu. Suara itupun semakin dekat dan aku begitu yakin akan menemukan orang-orang itu.
Saat aku yakin sudah semakin dekat, suara itu perlahan-lahan justru menjauh. Semakin lama semakin jauh dan tiba-tiba menghilang. Aku lantas mencoba berteriak memanggil mereka berharap akan ada seseorang yang mendengar suaraku. Tapi saat itu, persawahan itu menjadi sangat sepi dan hanya suaraku yang dapat kudengar.
Dalam kondisi putus asa aku terus berjalan sementara malam sudah tiba. Suara jangkrik sudah mulai terdengar dan binatang-binatang kecil mulai berterbangan di sekelilingku. Aku berjalan merayap-rayap karena tidak ada cahaya sama sekali. Malam itu sangat gelap dan dalam sesaat aku tidak bisa melihat apa-apa lagi layaknya orang buta.
Tak lama kemudian aku terjatuh terjerembab ke atas tanah berlumpur karena sesuatu yang keras tersandung kakiku. Aku yang sudah lemas akhirnya tergeletak pasrah tanpa berfikir untuk bangkit kembali. Dalam beberapa detik kunikmati sensasi basah dan gatal yang menyerang wajahku dan kesadaran pun hilang.
Keseokan harinya, saat aku tersadar, aku sudah berada di atas tempat tidurku. Di sampingku terlihat Ayah dan Ibu degan wajah tegang mencoba untuk mengajakku berkomunikasi. Tak jauh dari tempat tidur kulihat Adi tersenyum ke arahku. Tak lama setelah itu beberapa orangtua juga terlihat hadir untuk memastikan kondisiku.
Saat aku teringat peristiwa yang aku alami aku pun menangis memeluk Ibu. Dengan suara terbata-bata aku menjelaskan apa yang terjadi. Salah seorang kakek yang dituakan di kampung itu pun kemudian menjelaskan bahwa aku telah disesatkan oleh orang bunian dan sawah yang kulihat itu adalah pekampungan orang bunian.
Menurut cerita Adi, Ia dan Ayahnya sangat panik saat sadar aku menghilang. Awalnya Adi heran karena aku tidak kunjung kembali dari buang air kecil. Setelah memastikan aku tidak ada, Adi segera memanggil Ayahnya dan mulai mencariku.
Hampir empat jam Adi dan Ayahnya mencariku di sekitar daerah itu. Tapi karena hari sudah gelap dan aku tidak kunjung ditemukan, Ayah Adi memutuskan untuk pulang dan mmeinta bantuan warga. Dengan bantuan beberapa orangtua, aku akhirnya ditemukan tergeletak di bawah sebuah pohon tidak jauh dari pohon tempat aku buang air kecil.
0 comments :
Post a Comment