Teknokiper.com - Cerpen horor tentang begu ganjang. Kisah ini berlangsung pada tahun 2007 sekitar pertengahan bulan juni bertepatan dengan liburan panjang. Waktu itu, aku dan kakak pertamaku memutuskan untuk menikmati hari libur di kampung nenek. Nenek tinggal di sebuah kampung terpencil di daerah Labuhan Batu, Sumatera Utara. Sebenarnya sudah menjadi tradisi keluarga kami untuk berkunjung ke rumah nenek di hari libur. Karena orangtua Ayah dan Ibu sama-sama masih hidup, maka kami bebas memilih untuk berlibur ke mana. Aku dan kakak pertama memilih untuk berlibur ke rumah orangtua dari Ibu sedangkan abang dan adikku memilih untuk berlibur ke rumah orangtua dari Ayah yang waktu itu masih tinggal di kota Medan. Satu hari setelah menerima rapor, Ayah langsung mengantar kami ke rumah nenek di pagi hari. Dua hari sebelumnya, kakak dan Ibu sudah menyiapkan berbagai keperluan yang akan dibawa. Sementara abang dan adik berangkat ke kota Medan naik kereta api. Karena sudah terbiasa, abang tidak perlu diantar dan dia mendapat tugas untuk menjaga adik selama berlibur.
Sebenarnya, aku lebih suka berlibur ke kota Medan karena banyak tempat hiburan dan orangtua Ayah termasuk orang berada sehingga setiap akhir pekan biasanya kami akan dibawa jalan-jalan ke mal atau mengunjungi tempat wisata di daerah Berastagi.
Akan tetapi, berhubung tahun lalu aku sudah memilih liburan ke sana, maka tahun ini giliranku untuk berlibur ke kampung orangtua Ibu. Orangtua Ibu merupakan keluarga yang sederhana. Sejak Ibu menikah, mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah yang sejak aku kecil tidak pernah dimodifikasi.
Saat itu usiaku 11 tahun dan aku duduk di kelas V sekolah dasar, sedangkan kakak saat itu sudah duduk di bangku kelas X. Hampir setiap tahun aku kebagian jatah liburan bersama kakak sebab adik tidak begitu suka bermain dengan kakak.
Saat tiba di kampung nenek, rumahnya tertutup dan sepertinya tidak ada orang. Kami memutuskan untuk menunggu di teras depan. Sambil menunggu, Ayah berpesan kepada kakak untuk menjaga aku dan membantu nenek di rumah.
Tak berapa lama, terlihat nenek berjalan bersama beberapa orang ibu-ibu dan mereka semua terlihat mengenakan kerudung. Begitu melihat kami, nenek langsung tersenyum dan berjalan lebih cepat. Nenek mengatakan pada temannya bahwa cucunya sudah datang. Dan perbincangan menggunakan bahasa jawa yang terjadi benar-benar lucu.
"Udah lama Le?", sapa nenek begitu sampai di depan rumah.
Aku tersenyum dan mengatakan bahwa kami baru saja sampai. Ayah langsung menyalami tangan nenek begitu juga aku dan kakak. Saat tiba giliranku, nenek segera mencium pipiku dan mengelus rambutku.
Nenek segera membuka pintu dan mempersilahkan kami untuk masuk. Nenek pamit sebentar ke dapur dan tak berapa lama ia keluar sambil membawa minuman dan sepiring keripik pisang. Ia menyuruh kami untuk minum dan menyantap keripik tersebut.
"Ibu darimana?", tanya Ayah.
"Oh iya tadi habis melayat. Ada yang meninggal di kampung sebelah", jawab nenek sambil menuangkan teh ke gelas yang kosong. "Kakek juga masih di sana", lanjutnya.
"Siapa yang meninggal Nek?", sambung kakak.
"Dan kenapa?", sambungku tidak mau ketinggalan.
Ayah tersenyum ke arah nenek dan segera memintaku untuk bergantian dalam bertanya agar nenek bisa menjawabnya dengan santai. Aku lantas tersenyum dan membiarkan nenek berbicara.
Nenek mengatakan bahwa kemarin malam telah terjadi peristiwa yang menggemparkan di kampung sebelah. Seorang pria lajang tiba-tiba berteriak histeris saat mandi di sumur belakang rumahnya.
Di kampung ini, kebanyakan warga memang memiliki sumur yang terpisah dari rumah. Biasanya berada di halaman paling belakang di tanah yang lebih rendah. Dan biasanya, para pemuda seringkali mandi agak malam karena baru pulang kerja.
Dengan serius nenek melanjutkan ceritanya. Kata nenek, saat Ayah pria itu dan beberapa kerabat memeriksa ke sumur, pria itu sudah tergelatk di atas papan pemandian. Mereka lantas segera membawa pria itu pulang.
Setibanya di rumah, barulah terlihat dengan jelas wajah pria itu pucat dan terdapat bekas seperti bekas cekikan di bagian lehernya. Beberapa orang berusaha menyadarkan pria itu tetapi ternyata pria itu sudah meninggal.
Cerita nenek tentu saja membuatku merinding. Tidak hanya aku, kaka dan Ayah juga terlihat cemas. Karena penasaran, Ayah kembali bertanya mengenai penyebab kematian pria tersebut.
"Begu ganjang! Kata orang-orang situ sih kena begu ganjang!", jawab nenek agak memelankan suaranya.
"Begu ganjang? apa itu Nek?", tanyaku kemudian.
"Begu ganjang itu katanya hantu orang Batak Toba. Begu panjang itu artinya hantu panjang," jawab nenek sekenanya.
"Kenapa dibilang panjang Nek?", tanya kakak sambil mengunyah keripik.
"Menurut cerita orang-orang, begu ganjang itu memiliki perawakan yang tinggi besar. Semakin dilihat ke atas akan semakin tinggi dan kemudian dia akan mencekik orang yang melihatnya itu sampai mati," sambung Ayah.
"Seram banget. Tapi kata Nenek tadi itu hantu orang Batak, kok bisa ada di sini? Kan di sini kebanyakan orang Jawa?", tanyaku.
Nenek pun kemudian menjelaskan bahwa kampung sebelah mayoritasnya memang orang suku Jawa namun di bagian ujung kampung banyak juga orang Batak Toba dan orang Karo. Nenek kemudian menjelaskan kepada kami bahwa isu begu ganjang mulai santer terdengar setelah beberapa warga mengaku diganggu.
"Oya Nek, emangnya begu ganjang itu gimana asal usulnya?", tanya kakak.
"Udah ah kak, gak usah dibahas terus. Entar malah jadi takut. Lagipula itu kan masih dugaan orang kampung. Belum tentu benar. Bisa jadi kematian pria itu adalah sebuah pembunuhan", jawab Ayah.
Nenek mengiyakan jawaban Ayah dan memintaku untuk memasang televisi. Entah kebetulan atau bagaimana, pagi itu sebuah program di salah satu channel juga membahas misteri begu ganjang. Aku dan kakak sontak saling pandang kemudian menyaksikan acara itu dengan serius.
Ayah terlihat menghabiskan teh di gelasnya kemudian pamitan kepada Nenek. Karena kakek tidak kunjung pulang, Ayah hanya titip pesan sekaligus menitipkan kami kepada nenek. Nenek sempat menawarkan Ayah untuk makan sebelum pulang tapi Ayah sepertinya terburu-buru.
Aku dan kakak kemudian mencium tangan Ayah sebelum Ayah pergi. Ayah kembali mengingatkan kami untuk tidak nakal dan membantu kakek nenek di rumah. Kami segera mengiyakan karena tengah asyik mendengar program yang membahas begu ganjang itu.
Aku dan kakak memasang wajah serius dan memasang telinga dengan baik saking penasarannya dengan begu ganjang itu. Begitu serius sampai-sampai kami sama-sama menggerutu saat tiba-tiba listrik padam.
"Yaaaa,,,, nenek lampunya mati ya?", tanya kakak.
"Iyo... mati. Di sini memang sering mati lampu. Udah seminggu kayak gini", jelas nenek.
"Yaa,,,, orang lagi seru juga. Belum juga dapat info apa-apa", repetku.
Tidak berapa lama setelah kepergian Ayah, kakek pun pulang dengan mengendarai sepeda. Ia menyandarkan sepedanya di batang pohon jambu kemudian menghampiri kami yang sudah menunggu di teras rumah sambil menyunggingkan senyuman ke arahnya.
Sekitar pukul 2 siang sehabis makan, aku memutuskan untuk bermain ke rumah sepupu yang terletak di kampung bagian ujung. Aku meminjam sepeda kakek dan dengan susah payah mencoba mengendarainya karena posisi tempat dudunya yang masih terlalu tinggi untukku.
Setibanya di rumah Paman, sepupuku Tino langsung menyambutku dengan gembira. Dia memanggil Ayah dan Ibunya yang saat itu sedang berada di dapur. Tak berapa lama, paman dan bibi pun keluar sembari menyambutku.
"Kapan nyampek Le? siapa yang ngantar tadi?", tanya Paman.
"Tadi pagi Palek, diantar Ayah, tapi Ayah udah pulang karena buru-buru mau masuk kerja".
"Oh, udah makan kamu? makan sana Bulek nyayur tumis kangkung kesukaanmu itu", sambung Bibi.
"Aku baru aja makan Bulek".
Setelah berbincang panjang lebar mengenai kabar keluarga, aku dan Tino memutuskan untuk bermain di halaman belakang. Sambil memakan jambu yang diberikan Tino, aku pun mulai membuka perbincangan tentang warga kampung tetangga yang meninggal.
"Tino, abang yang meninggal itu katanya kena begu ganjang ya?", tanyaku.
"Abang mana? kampung sebelah? Iya, kok kamu tahu?".
"Kata nenek gitu. Emang benaran ada begu ganjang di sini?"
"Katanya sih gitu. Soalnya udah dua kali kejadian kayak gini. Bulan lalu juga ada yang ninggal gak wajar. Kayak abang ini juga. Katanya ada bekas cekikan gitu juga", jawab Tino sambil mengunyah jambu.
"Ih seram kali! Tapi kenapa bisa ada begu ganjang No? Emang hantunya gimana sih?", tanyaku.
"Kata opung kawanku yang tinggal di kampung itu, begu ganjang itu tinggi besar dan suka membunuh orang. Katanya, begu ganjang itu dipelihara sama orang Batak dan harus dikasih kayak tumbal gitu atau disuruh membunuh orang yang gak mereka suka".
"Emangnya buat apa dipelihara?"
"Gak tahu. Pokoknya gitulah kata kawanku. Kan di kampung itu banyak orang Batak. Udaha ah. Seram ngomongin itu. Mendingan kita ke sungai yuk, cari ikan", ajak Tino.
Karena sudah lama tidak bermain ke sungai, aku pun segera mengiyakan tanpa fikir panjang. Sudah sejak awal aku berencana untuk bermain sambil mencari ikan di sungai atau untuk sekedar berenang. Setelah pamit, kami pun segera berangkat.
Kami tidak pergi berdua, Tino mengajak beberapa temannya dan sebagian besar dari mereka sudah kenal denganku karena hampir tiap tahun ketemu. Setibanya di sungai, kami langsung mencari ikan dengan jaring dan sebagian anak membawa pancing.
Setelah mencari ikan cukup lama, kami akhirnya berhasil mengumpulkan beberapa ekor ikan yang kemudian kami bakar dan kami makan bersama. Kebersamaan seperti itu merupakan suasana yang selalu aku rindukan jika lama tidak berkunjung.
Sesuai dengan pesan yang kami terima, kami memutuskan untuk segera pulang sebelum hari terlalu sore. Sebelumnya kami sudah sempat berenang cukup lama sampai aku merasa kedinginan. Sekitar jam 5 sore, kami pun sampai di rumah Tino.
Karena sudah sore, aku memutuskan untuk mandi di rumah Tino dan meminjam pakaiannya. Setengah jam kemudian, aku mengajak Tino untuk bermain dan menginap di rumah nenek. Paman dan Bibi pun mengizinkan kami untuk pulang sore itu.
Sekitar jam 6 kurang, kami berangkat dari rumah Tino. Hari sudah mulai gelap dan mulai terlihat awan merah di langit pertanda magrib akan segera tiba. Tino menyetir sepeda kakek sementara aku di bonceng di kursi belakang.
Sama seperti aku, karena sepeda kakek terlalu tinggi, Tino juga agak kesulitan mengendarainya. Sesekali kami berdua tertawa geli karena nafas Tino terengah-engah dan beberapa kali kami hampir jatuh. Karena lelah, Tino memintaku untuk gantian.
Aku mengiyakan permintaannya tapi akan mulai bersepeda setelah melewati jalan yang menanjak. Kami pun berjalan beberapa meter sambil mendorong sepeda melewati jalan yang menanjak. Tidak terasa hari semakin gelap dan tiba-tiba saja aku menjadi cemas karena jalanan tampa begitu sepi.
"Udah gelap No? Gimana ini? cepat yuk".
"Gimana kenapa sih? Kan udah dekat".
"Tapi kan udah gelap. Aku takut entar ada hantu", aku berjalan lebih cepat dan tiba lebih dulu di tanjakan.
Di belakangku terlihat Tino berjalan dengan santai dan berusaha untuk mengatur nafasnya. "Tunggu lah. Masih capek aku loh. Kau pulak berat kali jadi ngos-ngosan aku memboncengmu".
"Yaudah cepat, sekarang kan aku yang bonceng".
Begitu Tino sampai aku langsung menaiki sepeda dan memintanya untuk naik. Aku pun segera mendayung sepeda begitu Tino naik. Karena jalan berikutnya merupakan turunan, tidak begitu sulit membonceng Tino.
Tapi sialnya, ternyata aku terlalu kencang mendayung sepeda pada permulaan tadi sehingga sepeda berjalan cukup cepat dan semakin cepat saat melalui turunan. Sadar akan kecepatan kami yang terlalu cepat, Tino memintaku untuk mengerem sepeda.
karena sepeda kakek tidak punya rem, maka aku mencoba mengerem dengan cara menahan ban sepeda dengan kaki, yaitu dengan cara menempelkan alas sandal ke ban. Aku pun berusaha mengerem semaksimal mungkin sampai akhirnya kecepatannya berkurang.
Aku berhasil mengendalikan laju sepeda dan sampai di satu titik laju sepeda terhenti. Tino bingung dan segera turun. Ia bertanya kenapa berhenti dan aku hanya menggeleng. Bukannya fokus pada sepeda, mataku justru tertuju ke jalanan yang semakin sepi.
Di kiri dan kanan kami adalah kebun karet dan tidak ada satupun rumah di sana. Tino mencoba mengamati apa yang salah dengan sepeda itu dan akhirnya tahu bahwa rantai sepedanya lolos. Tino memintaku untuk minggir dan mencoba memperbaiki rantai sepeda.
Hari yang mulai gelap dan lingkungan yang sepi membuatku menjadi cemas. Entah mengapa fikiranku selalu terutuju pada isu begu ganjang. Perasaan takut pun mulai menghantuiku.
"Udah belum No? Kok udah gelap ya? Padahal belum magrib kan?", tanyaku panik.
"Udah, ayok. Kamu kan yang bonceng?"
Tanpa membuang waktu aku mengambil kendali sepeda dan mulai mendayung. Tino membantu mendorong sebelum akhirnya dia melompat ke kursi belakang. Aku mencoba mendayung dengan kuat agar sepeda daat melaju cepat.
Usahaku sepertinya tidak sia-sia karena sepeda berhasil melaju dan aku mulai merasa tenang. Tidak jauh dari tempat kami sudah mulai terlihat cahaya lampu dari salah satu rumah di ujung jalan. Tapi baru saja melewati sebuah jembatan, sesuatu yang tidak terduga pun terjadi.
Sebatang kayu karet yang sudah lapuk terjatuh dari pohon tepat di depan kami sehingga membuat aku dan Tino terkejut. Tino melompat dari kursinya sementara aku dengan panik langsung menghentikan sepeda. Karena berhenti mendadak, aku pun terjatuh dari sepeda dengan posisi sepeda menimpah kaki.
Saat mencoba untuk berdiri, saat itulah aku menyaksikan sosok hitam yang samar-samar berkelabat tidak jauh dari kami. Tino yang berada di belakangku segera membantu sementara aku berusaha untuk memastikan apa yang aku lihat.
Entah karena parno atau karena panik, sosok tersebut berhasil kuamati dan dengan jelas aku melihat ukurannya yang semakin lama semakin tinggi. Sosok itu hanya seperti bayangan hitamtapi tidak jelas wujudnya.
Sontak saja hal itu membuatku menjerit histeris. Tino yang kaget dengan jeritanku pun akhirnya ikut menjerit meskipun dia tidak tahu apa yang terjadi. Jeritan kami ternyata mendapat reaksi dari beberapa warga yang rumah tidak jauh dari lokasi kami jatuh.
Tidak lama beberapa warga menghampiri kami dan berusaha membantu ku yang masih terduduk lemas di bawah sepeda. Mereka mengira kami teriak karena terjatuh dari sepeda atau kaget karena batang pohon yang jatuh tiba-tiba. Tapi saat aku menceritakan apa yang kulihat, mereka pun terkejut.
Beberapa orang tidak percaya dengan apa yang kuceritakan karena Tino mengaku tidak melihat apa yang kulihat. Tino juga mengatakan bahwa dia ikut teriak karena kaget. Warga kemudian beranggapan bahwa aku hanya berimajinasi karena terlalu takut.
Karena aku masih shok dan lemas, salah seorang Ibu menyuruh kami untuk beristirahat sebentar. Dia kemudian mengatakan akan menyuruh suaminya mengantar kami jika kami tidak berani pulang. Tapi tidak berapa lama ternyata kakek terlihat berjalan kaki di jalanan.
Saat tahu kami berada di rumah salah satu warga, kakek segera menghampiri dan berbincang-bincang dengan warga. Tino pun menceritakan kejadian yang kami alami kepada kakek. Setelah berterimakasih, kakek akhirnya membawa kami pulang.
Sesampainya di rumah, nenek pun memarahi kami karena pulang magrib-magrib. Tino lantas membela diri dan mengatakan bahwa kami sudah berangkat jam tengah enam tapi entah kenapa lama sekali sampainya. Tino mengaku heran karena seharusnya perjalanan dari rumahnya ke rumah nenek paling lama hanya 20 menit.
Sambil memberi minyak angin dan memijat keningku, nenek menasihati kami untuk tidak lagi pergi terlalu sore. Jika sudah magrib lebih baik tidur di rumah Tino saja. Sementara kakak mencoba mengoleskan minyak angin ke kakiku sambil menatapku dengan cemas.
"Jangan-jangan adik memang lihat begu gan..",
"Eithh,,, sudah jangan dibahas lagi. Sudah sana, buatkan kakek teh manis", potong kakek.
"Tapi, aku takut ke belakang kek?".
"Takut opo? Urang di rumah kok takut. Sana Tino temani kakakmu", suruh kakek.
Tino dan kakak pun pergi ke dapur untuk membuatkan kakek teh manis. Sementara aku mulai terlelap karena merasa lelah. Saat aku hampir tertidur, sayup-sayup kudengar kakek berbicara ke nenek dengan bahasa jawa yang sulit kumengerti.
Kakek dan nenek berbicara dengan suara pelan sementara aku mencoba untuk menguping dan memahami pembicaraan mereka. Meski banyak kata yang tidak kupahami, tapi aku bisa menangkap inti dari pembicaraan mereka.
Kakek bercerita kepada nenek bahwa salah seorang warga yang menolong kami mengatakan pada kakek mengenai kebenaran ceritaku. Orang itu mengatakan bahwa aku memang melihat sosok hantu tapi tidak pasti juga itu begu ganjang atau bukan. Yang jelas, aku memang melihat makhluk gaib.
Mendengar kenyataan itu aku pun merapatkan tubuhku ke kaki nenek dan memeluk pinggangnya. Untuk beberapa menit aku terus berusaha untuk melupakan kejadian itu hingga akhirnya aku benar-benar tertidur.
Sejak kejadian itu, aku tidak mau diajak bermain jauh dari rumah. Sebelum jam lima sore aku pasti sudah pulang dan tidak akan keluar rumah di malam hari. Jika terpaksa harus buang air besar di malam hari, aku akan meminta kakek atau nenek untuk menemaniku meskipun toilet ada di dalam rumah.
Sebenarnya, aku lebih suka berlibur ke kota Medan karena banyak tempat hiburan dan orangtua Ayah termasuk orang berada sehingga setiap akhir pekan biasanya kami akan dibawa jalan-jalan ke mal atau mengunjungi tempat wisata di daerah Berastagi.
Akan tetapi, berhubung tahun lalu aku sudah memilih liburan ke sana, maka tahun ini giliranku untuk berlibur ke kampung orangtua Ibu. Orangtua Ibu merupakan keluarga yang sederhana. Sejak Ibu menikah, mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah yang sejak aku kecil tidak pernah dimodifikasi.
Saat itu usiaku 11 tahun dan aku duduk di kelas V sekolah dasar, sedangkan kakak saat itu sudah duduk di bangku kelas X. Hampir setiap tahun aku kebagian jatah liburan bersama kakak sebab adik tidak begitu suka bermain dengan kakak.
Saat tiba di kampung nenek, rumahnya tertutup dan sepertinya tidak ada orang. Kami memutuskan untuk menunggu di teras depan. Sambil menunggu, Ayah berpesan kepada kakak untuk menjaga aku dan membantu nenek di rumah.
Tak berapa lama, terlihat nenek berjalan bersama beberapa orang ibu-ibu dan mereka semua terlihat mengenakan kerudung. Begitu melihat kami, nenek langsung tersenyum dan berjalan lebih cepat. Nenek mengatakan pada temannya bahwa cucunya sudah datang. Dan perbincangan menggunakan bahasa jawa yang terjadi benar-benar lucu.
"Udah lama Le?", sapa nenek begitu sampai di depan rumah.
Aku tersenyum dan mengatakan bahwa kami baru saja sampai. Ayah langsung menyalami tangan nenek begitu juga aku dan kakak. Saat tiba giliranku, nenek segera mencium pipiku dan mengelus rambutku.
Nenek segera membuka pintu dan mempersilahkan kami untuk masuk. Nenek pamit sebentar ke dapur dan tak berapa lama ia keluar sambil membawa minuman dan sepiring keripik pisang. Ia menyuruh kami untuk minum dan menyantap keripik tersebut.
"Ibu darimana?", tanya Ayah.
"Oh iya tadi habis melayat. Ada yang meninggal di kampung sebelah", jawab nenek sambil menuangkan teh ke gelas yang kosong. "Kakek juga masih di sana", lanjutnya.
"Siapa yang meninggal Nek?", sambung kakak.
"Dan kenapa?", sambungku tidak mau ketinggalan.
Ayah tersenyum ke arah nenek dan segera memintaku untuk bergantian dalam bertanya agar nenek bisa menjawabnya dengan santai. Aku lantas tersenyum dan membiarkan nenek berbicara.
Nenek mengatakan bahwa kemarin malam telah terjadi peristiwa yang menggemparkan di kampung sebelah. Seorang pria lajang tiba-tiba berteriak histeris saat mandi di sumur belakang rumahnya.
Di kampung ini, kebanyakan warga memang memiliki sumur yang terpisah dari rumah. Biasanya berada di halaman paling belakang di tanah yang lebih rendah. Dan biasanya, para pemuda seringkali mandi agak malam karena baru pulang kerja.
Dengan serius nenek melanjutkan ceritanya. Kata nenek, saat Ayah pria itu dan beberapa kerabat memeriksa ke sumur, pria itu sudah tergelatk di atas papan pemandian. Mereka lantas segera membawa pria itu pulang.
Setibanya di rumah, barulah terlihat dengan jelas wajah pria itu pucat dan terdapat bekas seperti bekas cekikan di bagian lehernya. Beberapa orang berusaha menyadarkan pria itu tetapi ternyata pria itu sudah meninggal.
Cerita nenek tentu saja membuatku merinding. Tidak hanya aku, kaka dan Ayah juga terlihat cemas. Karena penasaran, Ayah kembali bertanya mengenai penyebab kematian pria tersebut.
"Begu ganjang! Kata orang-orang situ sih kena begu ganjang!", jawab nenek agak memelankan suaranya.
"Begu ganjang? apa itu Nek?", tanyaku kemudian.
"Begu ganjang itu katanya hantu orang Batak Toba. Begu panjang itu artinya hantu panjang," jawab nenek sekenanya.
"Kenapa dibilang panjang Nek?", tanya kakak sambil mengunyah keripik.
"Menurut cerita orang-orang, begu ganjang itu memiliki perawakan yang tinggi besar. Semakin dilihat ke atas akan semakin tinggi dan kemudian dia akan mencekik orang yang melihatnya itu sampai mati," sambung Ayah.
"Seram banget. Tapi kata Nenek tadi itu hantu orang Batak, kok bisa ada di sini? Kan di sini kebanyakan orang Jawa?", tanyaku.
Nenek pun kemudian menjelaskan bahwa kampung sebelah mayoritasnya memang orang suku Jawa namun di bagian ujung kampung banyak juga orang Batak Toba dan orang Karo. Nenek kemudian menjelaskan kepada kami bahwa isu begu ganjang mulai santer terdengar setelah beberapa warga mengaku diganggu.
"Oya Nek, emangnya begu ganjang itu gimana asal usulnya?", tanya kakak.
"Udah ah kak, gak usah dibahas terus. Entar malah jadi takut. Lagipula itu kan masih dugaan orang kampung. Belum tentu benar. Bisa jadi kematian pria itu adalah sebuah pembunuhan", jawab Ayah.
Nenek mengiyakan jawaban Ayah dan memintaku untuk memasang televisi. Entah kebetulan atau bagaimana, pagi itu sebuah program di salah satu channel juga membahas misteri begu ganjang. Aku dan kakak sontak saling pandang kemudian menyaksikan acara itu dengan serius.
Ayah terlihat menghabiskan teh di gelasnya kemudian pamitan kepada Nenek. Karena kakek tidak kunjung pulang, Ayah hanya titip pesan sekaligus menitipkan kami kepada nenek. Nenek sempat menawarkan Ayah untuk makan sebelum pulang tapi Ayah sepertinya terburu-buru.
Aku dan kakak kemudian mencium tangan Ayah sebelum Ayah pergi. Ayah kembali mengingatkan kami untuk tidak nakal dan membantu kakek nenek di rumah. Kami segera mengiyakan karena tengah asyik mendengar program yang membahas begu ganjang itu.
Aku dan kakak memasang wajah serius dan memasang telinga dengan baik saking penasarannya dengan begu ganjang itu. Begitu serius sampai-sampai kami sama-sama menggerutu saat tiba-tiba listrik padam.
"Yaaaa,,,, nenek lampunya mati ya?", tanya kakak.
"Iyo... mati. Di sini memang sering mati lampu. Udah seminggu kayak gini", jelas nenek.
"Yaa,,,, orang lagi seru juga. Belum juga dapat info apa-apa", repetku.
Tidak berapa lama setelah kepergian Ayah, kakek pun pulang dengan mengendarai sepeda. Ia menyandarkan sepedanya di batang pohon jambu kemudian menghampiri kami yang sudah menunggu di teras rumah sambil menyunggingkan senyuman ke arahnya.
Sekitar pukul 2 siang sehabis makan, aku memutuskan untuk bermain ke rumah sepupu yang terletak di kampung bagian ujung. Aku meminjam sepeda kakek dan dengan susah payah mencoba mengendarainya karena posisi tempat dudunya yang masih terlalu tinggi untukku.
Setibanya di rumah Paman, sepupuku Tino langsung menyambutku dengan gembira. Dia memanggil Ayah dan Ibunya yang saat itu sedang berada di dapur. Tak berapa lama, paman dan bibi pun keluar sembari menyambutku.
"Kapan nyampek Le? siapa yang ngantar tadi?", tanya Paman.
"Tadi pagi Palek, diantar Ayah, tapi Ayah udah pulang karena buru-buru mau masuk kerja".
"Oh, udah makan kamu? makan sana Bulek nyayur tumis kangkung kesukaanmu itu", sambung Bibi.
"Aku baru aja makan Bulek".
Setelah berbincang panjang lebar mengenai kabar keluarga, aku dan Tino memutuskan untuk bermain di halaman belakang. Sambil memakan jambu yang diberikan Tino, aku pun mulai membuka perbincangan tentang warga kampung tetangga yang meninggal.
"Tino, abang yang meninggal itu katanya kena begu ganjang ya?", tanyaku.
"Abang mana? kampung sebelah? Iya, kok kamu tahu?".
"Kata nenek gitu. Emang benaran ada begu ganjang di sini?"
"Katanya sih gitu. Soalnya udah dua kali kejadian kayak gini. Bulan lalu juga ada yang ninggal gak wajar. Kayak abang ini juga. Katanya ada bekas cekikan gitu juga", jawab Tino sambil mengunyah jambu.
"Ih seram kali! Tapi kenapa bisa ada begu ganjang No? Emang hantunya gimana sih?", tanyaku.
"Kata opung kawanku yang tinggal di kampung itu, begu ganjang itu tinggi besar dan suka membunuh orang. Katanya, begu ganjang itu dipelihara sama orang Batak dan harus dikasih kayak tumbal gitu atau disuruh membunuh orang yang gak mereka suka".
"Emangnya buat apa dipelihara?"
"Gak tahu. Pokoknya gitulah kata kawanku. Kan di kampung itu banyak orang Batak. Udaha ah. Seram ngomongin itu. Mendingan kita ke sungai yuk, cari ikan", ajak Tino.
Karena sudah lama tidak bermain ke sungai, aku pun segera mengiyakan tanpa fikir panjang. Sudah sejak awal aku berencana untuk bermain sambil mencari ikan di sungai atau untuk sekedar berenang. Setelah pamit, kami pun segera berangkat.
Kami tidak pergi berdua, Tino mengajak beberapa temannya dan sebagian besar dari mereka sudah kenal denganku karena hampir tiap tahun ketemu. Setibanya di sungai, kami langsung mencari ikan dengan jaring dan sebagian anak membawa pancing.
Setelah mencari ikan cukup lama, kami akhirnya berhasil mengumpulkan beberapa ekor ikan yang kemudian kami bakar dan kami makan bersama. Kebersamaan seperti itu merupakan suasana yang selalu aku rindukan jika lama tidak berkunjung.
Sesuai dengan pesan yang kami terima, kami memutuskan untuk segera pulang sebelum hari terlalu sore. Sebelumnya kami sudah sempat berenang cukup lama sampai aku merasa kedinginan. Sekitar jam 5 sore, kami pun sampai di rumah Tino.
Karena sudah sore, aku memutuskan untuk mandi di rumah Tino dan meminjam pakaiannya. Setengah jam kemudian, aku mengajak Tino untuk bermain dan menginap di rumah nenek. Paman dan Bibi pun mengizinkan kami untuk pulang sore itu.
Sekitar jam 6 kurang, kami berangkat dari rumah Tino. Hari sudah mulai gelap dan mulai terlihat awan merah di langit pertanda magrib akan segera tiba. Tino menyetir sepeda kakek sementara aku di bonceng di kursi belakang.
Sama seperti aku, karena sepeda kakek terlalu tinggi, Tino juga agak kesulitan mengendarainya. Sesekali kami berdua tertawa geli karena nafas Tino terengah-engah dan beberapa kali kami hampir jatuh. Karena lelah, Tino memintaku untuk gantian.
Aku mengiyakan permintaannya tapi akan mulai bersepeda setelah melewati jalan yang menanjak. Kami pun berjalan beberapa meter sambil mendorong sepeda melewati jalan yang menanjak. Tidak terasa hari semakin gelap dan tiba-tiba saja aku menjadi cemas karena jalanan tampa begitu sepi.
"Udah gelap No? Gimana ini? cepat yuk".
"Gimana kenapa sih? Kan udah dekat".
"Tapi kan udah gelap. Aku takut entar ada hantu", aku berjalan lebih cepat dan tiba lebih dulu di tanjakan.
Di belakangku terlihat Tino berjalan dengan santai dan berusaha untuk mengatur nafasnya. "Tunggu lah. Masih capek aku loh. Kau pulak berat kali jadi ngos-ngosan aku memboncengmu".
"Yaudah cepat, sekarang kan aku yang bonceng".
Begitu Tino sampai aku langsung menaiki sepeda dan memintanya untuk naik. Aku pun segera mendayung sepeda begitu Tino naik. Karena jalan berikutnya merupakan turunan, tidak begitu sulit membonceng Tino.
Tapi sialnya, ternyata aku terlalu kencang mendayung sepeda pada permulaan tadi sehingga sepeda berjalan cukup cepat dan semakin cepat saat melalui turunan. Sadar akan kecepatan kami yang terlalu cepat, Tino memintaku untuk mengerem sepeda.
karena sepeda kakek tidak punya rem, maka aku mencoba mengerem dengan cara menahan ban sepeda dengan kaki, yaitu dengan cara menempelkan alas sandal ke ban. Aku pun berusaha mengerem semaksimal mungkin sampai akhirnya kecepatannya berkurang.
Aku berhasil mengendalikan laju sepeda dan sampai di satu titik laju sepeda terhenti. Tino bingung dan segera turun. Ia bertanya kenapa berhenti dan aku hanya menggeleng. Bukannya fokus pada sepeda, mataku justru tertuju ke jalanan yang semakin sepi.
Di kiri dan kanan kami adalah kebun karet dan tidak ada satupun rumah di sana. Tino mencoba mengamati apa yang salah dengan sepeda itu dan akhirnya tahu bahwa rantai sepedanya lolos. Tino memintaku untuk minggir dan mencoba memperbaiki rantai sepeda.
Hari yang mulai gelap dan lingkungan yang sepi membuatku menjadi cemas. Entah mengapa fikiranku selalu terutuju pada isu begu ganjang. Perasaan takut pun mulai menghantuiku.
"Udah belum No? Kok udah gelap ya? Padahal belum magrib kan?", tanyaku panik.
"Udah, ayok. Kamu kan yang bonceng?"
Tanpa membuang waktu aku mengambil kendali sepeda dan mulai mendayung. Tino membantu mendorong sebelum akhirnya dia melompat ke kursi belakang. Aku mencoba mendayung dengan kuat agar sepeda daat melaju cepat.
Usahaku sepertinya tidak sia-sia karena sepeda berhasil melaju dan aku mulai merasa tenang. Tidak jauh dari tempat kami sudah mulai terlihat cahaya lampu dari salah satu rumah di ujung jalan. Tapi baru saja melewati sebuah jembatan, sesuatu yang tidak terduga pun terjadi.
Sebatang kayu karet yang sudah lapuk terjatuh dari pohon tepat di depan kami sehingga membuat aku dan Tino terkejut. Tino melompat dari kursinya sementara aku dengan panik langsung menghentikan sepeda. Karena berhenti mendadak, aku pun terjatuh dari sepeda dengan posisi sepeda menimpah kaki.
Saat mencoba untuk berdiri, saat itulah aku menyaksikan sosok hitam yang samar-samar berkelabat tidak jauh dari kami. Tino yang berada di belakangku segera membantu sementara aku berusaha untuk memastikan apa yang aku lihat.
Entah karena parno atau karena panik, sosok tersebut berhasil kuamati dan dengan jelas aku melihat ukurannya yang semakin lama semakin tinggi. Sosok itu hanya seperti bayangan hitamtapi tidak jelas wujudnya.
Sontak saja hal itu membuatku menjerit histeris. Tino yang kaget dengan jeritanku pun akhirnya ikut menjerit meskipun dia tidak tahu apa yang terjadi. Jeritan kami ternyata mendapat reaksi dari beberapa warga yang rumah tidak jauh dari lokasi kami jatuh.
Tidak lama beberapa warga menghampiri kami dan berusaha membantu ku yang masih terduduk lemas di bawah sepeda. Mereka mengira kami teriak karena terjatuh dari sepeda atau kaget karena batang pohon yang jatuh tiba-tiba. Tapi saat aku menceritakan apa yang kulihat, mereka pun terkejut.
Beberapa orang tidak percaya dengan apa yang kuceritakan karena Tino mengaku tidak melihat apa yang kulihat. Tino juga mengatakan bahwa dia ikut teriak karena kaget. Warga kemudian beranggapan bahwa aku hanya berimajinasi karena terlalu takut.
Karena aku masih shok dan lemas, salah seorang Ibu menyuruh kami untuk beristirahat sebentar. Dia kemudian mengatakan akan menyuruh suaminya mengantar kami jika kami tidak berani pulang. Tapi tidak berapa lama ternyata kakek terlihat berjalan kaki di jalanan.
Saat tahu kami berada di rumah salah satu warga, kakek segera menghampiri dan berbincang-bincang dengan warga. Tino pun menceritakan kejadian yang kami alami kepada kakek. Setelah berterimakasih, kakek akhirnya membawa kami pulang.
Sesampainya di rumah, nenek pun memarahi kami karena pulang magrib-magrib. Tino lantas membela diri dan mengatakan bahwa kami sudah berangkat jam tengah enam tapi entah kenapa lama sekali sampainya. Tino mengaku heran karena seharusnya perjalanan dari rumahnya ke rumah nenek paling lama hanya 20 menit.
Sambil memberi minyak angin dan memijat keningku, nenek menasihati kami untuk tidak lagi pergi terlalu sore. Jika sudah magrib lebih baik tidur di rumah Tino saja. Sementara kakak mencoba mengoleskan minyak angin ke kakiku sambil menatapku dengan cemas.
"Jangan-jangan adik memang lihat begu gan..",
"Eithh,,, sudah jangan dibahas lagi. Sudah sana, buatkan kakek teh manis", potong kakek.
"Tapi, aku takut ke belakang kek?".
"Takut opo? Urang di rumah kok takut. Sana Tino temani kakakmu", suruh kakek.
Tino dan kakak pun pergi ke dapur untuk membuatkan kakek teh manis. Sementara aku mulai terlelap karena merasa lelah. Saat aku hampir tertidur, sayup-sayup kudengar kakek berbicara ke nenek dengan bahasa jawa yang sulit kumengerti.
Kakek dan nenek berbicara dengan suara pelan sementara aku mencoba untuk menguping dan memahami pembicaraan mereka. Meski banyak kata yang tidak kupahami, tapi aku bisa menangkap inti dari pembicaraan mereka.
Kakek bercerita kepada nenek bahwa salah seorang warga yang menolong kami mengatakan pada kakek mengenai kebenaran ceritaku. Orang itu mengatakan bahwa aku memang melihat sosok hantu tapi tidak pasti juga itu begu ganjang atau bukan. Yang jelas, aku memang melihat makhluk gaib.
Mendengar kenyataan itu aku pun merapatkan tubuhku ke kaki nenek dan memeluk pinggangnya. Untuk beberapa menit aku terus berusaha untuk melupakan kejadian itu hingga akhirnya aku benar-benar tertidur.
Sejak kejadian itu, aku tidak mau diajak bermain jauh dari rumah. Sebelum jam lima sore aku pasti sudah pulang dan tidak akan keluar rumah di malam hari. Jika terpaksa harus buang air besar di malam hari, aku akan meminta kakek atau nenek untuk menemaniku meskipun toilet ada di dalam rumah.
0 comments :
Post a Comment