Sekitar pukul lima subuh aku mendengar ibu sudah melakukan aktivitasnya di dapur. Aku sendiri terbangun karena merasa ada sesuatu yang menyentuh kakiku. Sesuatu yang dingin yang membuatku teringat pada kejadian aneh belakangan ini. Karena terlanjur terbangun dan susah tidur lagi, aku memutuskan untuk menyusul ibu ke dapur. Di sana, ibu terlihat sedang memotong wartel. Tangannya aktif menggerakkan pisau tapi tatapannya kosong membuatku khawatir. Bagaimana bisa ibu memotong wartel sambil melamun? Kan bahaya!
Dengan suara pelan aku mencoba memanggil ibu. Aku berdiri tepat di depannya tapi ibu sepertinya tidak mendengar suaraku. Ibu juga terlihat tidak menyadari kehadiranku. Aku lantas mengeraskan suaraku dan menggoyangkan tubuh ibu. Kali ini ibu tampak terkejut dan nyaris saja pisau tajam ia acungkan ke arahku.
"Niel!" ucap ibu tidak bersemangat. "Bikin kaget aja kamu."
"Ibu lagi melamunin apa sih? entar tangannya kena pisau gimana?"
Ibu berdehem dan mengatakan bahwa ia sedang memikirkan kejadian tadi malam. Ibu masih tidak habis fikir mengapa kejadian seperti itu bisa terjadi. Ibu menghela nafas untuk beberapa detik dan kembali bekerja.
"Maaf Bu, tapi Niel cuma kaget karena tiba-tiba Deny teriak."
"Apa abang lihat sesuatu lagi?" ibu berhenti memotong wartel dan menatap ke arahku.
Aku menggelengkan kepala sambil berfikir.
"Tapi Niel denger suara di luar Bu, kayak suara langkah kaki. Makanya Niel gak berani waktu Ibu suruh liat Deny dari jendela."
"Kalau begitu kita harus hati-hati bang. Kata orang sekarang lagi musim palasik."
"Palasik? apa itu Bu?" tanyaku penasaran. Meski baru pertama kali mendengar istilah itu tapi aku yakin itu adalah hal yang buruk.
Ibu lantas menceritakan legenda hantu palasik yang tenyata sedang menjadi buah bibir di kampung kami.
Isu palasik menyebar cepat ke seluruh desa karena dalam beberapa minggu terakhir ini sudah ada tiga bayi yang meninggal. Banyak yang percaya bahwa bayi-bayi itu meninggal akibat ulah palasik. Mereka mengatakan demikian sebab sebelum meninggal, bayi-bayi itu menunjukkan ciri-ciri terkena palasik.
Menurut cerita ibu, palasik merupakan legenda Minangkabau yang sudah diceritakan secara turun-temurun. Palasik merupakan seseorang yang diyakini memiliki ilmu hitam tingkat tinggi dan gemar menghisap darah anak-anak, bayi, bahkan janin yang masih dalam kandungan. Palasik biasanya akan mengincar ibu-ibu hamil, balita, dan bayi yang baru saja dikubur.
"Memangnya ciri-ciri terkena palasik gimana Bu?" tanyaku penasaran. Aku merapat ke sebelah ibu karena kurasakan bulu kudukku mulai berdiri.
"Biasanya, bayi yang tekena palasik akan mengalami panas tinggi, kejang, muntah, dan diare yang berkepanjangan sampai badannya jadi kurus kering dan layu."
"Kalau warga mengira itu ulah palasik, kenapa tidak ditangkap Bu?"
"Semuanya kan harus ada bukti bang. Tidak bisa asal tangkap. Lagian siapa yang tahu palasik itu siapa. Itu kan masih rumor warga aja."
Aku hanya manggut-manggut sambil mengelus pundakku sendiri. Mendengar cerita ibu membuatku menjadi semakin gusar. Setelah kejadian aneh yang beberapa kali kualami plus isu palasik yang meresahkan membuat aku benar-benar jadi penakut. Aku bahkan tidak berani mandi saat ibu menyuruhku. Sakin takutnya, aku menunggu hari terang dan mandi tanpa menutup mata. Entah kenapa tiba-tiba saja aku takut kalau-kalau aku sudah tidak berada di kamar mandi saat mataku terbuka.
Selesai sarapan ibu memintaku untuk menunggu Deny. Ibu meminta agar kami berangkat ke sekolah bersama-sama. Karena ada banyak hal yang ingin aku tanyakan ke Deny, aku pun menuruti perintah ibu. Tidak seperti biasanya, Deny juga menuruti ibu.
Aku membiarkan Deny berjalan beberapa meter di depanku. Di belakangya, aku berjalan dengan fikiran yang melayang-layang tak tentu arah. Untuk kali pertamanya kami tidak terlibat keributan. Karena terlalu fokus pada fikiran-fikiran di kepalaku, aku tidak konsentrasi pada jalan dan menabrak Deny yang ternyata sedang berhenti untuk menyeberang.
"Eh eh, sory," sesegera mungkin aku meminta maaf sebelum Deny membuka mulut.
"Kenapa sih?" tanya Deny sedikit kesal. "Lihatin apa kamu?"
Aku tidak menanggapi pertanyaan Deny dan kembali tenggelam dalam fikiranku sendiri. Untuk beberapa saat aku berfikir mengapa keadaan seperti berbalik. Kenapa Deny bersikap seperti aku? Biasanya akulah yang selalu memprotes gerak-geriknya.
Setibanya di sekolah, aku langsung menghampiri teman-temanku. Baru saja aku mau bercerita tentang palasik ternyata kabar itu sudah lebih dulu mereka ketahui. Aku lantas menceritakan kejadian aneh yang menimpah keluargaku malam itu.
"Jangan-jangan itu palasik!" celetuk Wira.
"Ngapain dia ke rumahku? Kan gak ada anak bayi di rumahku."
"Kali aja dia mau makan kau," sambung Rudi sambil tertawa.
Secepat kilat kepalan tanganku mendarat di jidatnya. Rudi balik menyerangku dan gelak tawapun terpecah. Di sudut ruangan paling belakang kulihat Deny menatap ke arah kami dengan tatapan jijik. Tatapan itu biasanya ada di wajahku saat aku melihat tingkah konyol Deny. Entah mengapa untuk kesekian kalinya aku berfikir bahwa aku mulai mencapai titik kritis dimana roda berputar dan aku ada di posisi Deny selama ini.
Sepulang sekolah aku terpaksa berjalan sendirian karena teman-temanku sudah pulang lebih dulu. Siang ini aku kebagian tugas piket jadi harus membersihkan kelas sebelum pulang ke rumah. Tak jauh dari sekolah, langkahku terhenti di depan sebuah rumah yang halaman depannya sudah dipasangi tenda terpal berwarna biru. Di pinggir jalan terlihat sebuah tong rusak dan bendera berwarna merah yang menandakan bahwa ada orang meninggal di rumah tersebut.
Di bawah tenda terlihat beberapa warga yang sedang melayat. Mereka membentuk beberapa kelompok dan membahas topik masing-masing. Beberapa orang terlihat berbisik-bisik. Dengan memasang telinga lebar-lebar, sekilas aku mendengar mereka membicarakan tentang palasik. Aku pun menyimpulkan bahwa yang meninggal pasti anak kecil sebab menurut cerita ibu korban palasik adalah anak kecil. Kesimpulanku ternyata benar karena tak berapa lama aku mendengar suara tangisan seorang ibu dari dalam rumah. Wanita itu menangis histeris menyebut nama anaknya yang kutahu adalah seorang balita usia 2 tahun.
Aku terkejut setengah mati saat tiba-tiba seseorang memukul bahuku dari belakang. Seperti orang yang ketahuan nguping aku sedikit gusar. Yang membuat kesal ternyata orang itu adalah Deny. Dia segera tertawa saat melihat ekspresi wajahku. Well, ya mungkin wajahku terlihat sedikit pucat dan konyol. Lagi-lagi dia memperlakukan aku seperti aku memperlakukan dia biasanya. Tak mau dia mengambil kendali terlalu jauh, aku lantas menariknya menjauhi rumah duka dan segera memarahinya.
"Udah gila ya kau? orang lagi pada sedih kau mala ketawa cengingisan," repetku.
Deny terdiam beberapa saat sebelum akhirnya kembali tertawa. Kali ini dia terlihat benar-benar tidak seperti biasanya. Aku hanya bertanya dalam hati apa yang salah pada anak itu karena tidak biasanya dia tertawa kegirangan seperti itu.
Karena suara Deny cukup keras aku degan repleks membungkam mulutnya. Aku hanya tidak ingin suara tawanya terdengar hingga ke rumah duka. Aku menahan tanganku di mulut Deny sekuat tenaga sambil melihat ke arah rumah duka berharap tidak ada yang memperhatikan kami. Aku melonggarkan tanganku saat kudapati tak seorangpun warga berada di rumah itu. Tidak ada tenda biru, tidak ada tong dan bendera merah, dan tidak ada orang meninggal. Dalam sekejap mataku terbelalak dan mulutku terperangah. Keringat mulai bercucuran dari keningku dan kurasa aku sudah mulai gila.
Kuperhatikan lingkungan sekitar dengan seksama. Mungkin saja aku melihat ke rumah yang salah. Tapi semakin aku memperhatikan semakin aku sadar dengan apa yang kulihat. Tidak ada orang meninggal di sana, tidak ada rumah duka, apalagi kerumunan warga yang tengah melayat. Lantas apa yang kulihat sebelumnya? Masak sih aku berhalusinasi sampai segitunya?
"Halo?" Deny menepukkan tangannya di depan wajahku. "Wake up!!"
"Kenapa kau meniru gayaku?" repetku kesal.
"What?" Deny mengernyitkan dahi dan berjalan meninggalkanku. "Cepat, entar ibu marah kalau telat."
Lagi-lagi Deny mengucapkan kata-kata yang biasanya kuucapkan.
Aku terpelongoh di tempatku berdiri untuk beberapa saat. Karena tak kunjung bergerak, kulihat Deny berjalan berbalik arah. Sepertinya dia hendak menyusulku. Dalam sekejap aku terlempar dalam kenanganku ketika aku dengan kesal menyusul Deny yang tidak mau pulang dan menyeretnya dengan geram. Tidak mau hal semacam itu terjadi, aku segera berjalan sebelum Deny benar-benar mendekatiku.
"Cepatlah, gara-gara kau aku capek bolak-balik," repet Deny.
Deny hendak menggapai tanganku saat aku melewatinya tapi dengan segera aku menjauh dan berjalan lebih cepat darinya.
0 comments :
Post a Comment